Kategori: Uncategorized

  • Pahlawan sangat terkenal kecerdikannya Jenderal Soedirman

    Pahlawan sangat terkenal kecerdikannya Jenderal Soedirman

    Panglima Besar Soeratman diradja Mani Diningrat Soedirman (EYD: Sudirman; 24 Januari 1916 – 29 Januari 1950) adalah pahlawan kemerdekaan Indonesia pada masa Pahlawan Kemerdekaan Indonesia . Sebagai Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia pertama, ia adalah sosok yang dihormati di Indonesia. Terlahir dari rakyat biasa di Purbalingga, Soedirman diadopsi oleh pamannya yang seorang priyayi. Setelah keluarganya pindah ke Cilacap pada 1916, Soedirman tumbuh menjadi seorang siswa rajin; ia aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk program kepanduan yang dijalankan Muhammadiyah. Ia juga menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi. Soedirman sangat dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya pada Islam. Setelah berhenti kuliah keguruan, pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang guru, dan kemudian mengepalai sekolah dasar Muhammadiyah; ia juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada 1937. Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar. Pada 1944, ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang, menjabat sebagai komandan batalyon di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya sesama prajurit melakukan pemberontakan, hingga kemudian diasingkan ke Bogor.

    Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Soedirman melarikan diri dari pusat penahanan, kemudian pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Soekarno. Ia ditugaskan untuk mengawasi proses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas, yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal Badan Keamanan Rakyat. Pasukannya lalu dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober oleh panglima angkatan perang sementara Oerip Soemohardjo, dan Soedirman bertanggung jawab atas divisi tersebut. Pada tanggal 12 November 1945, dalam sebuah pemilihan untuk menentukan panglima besar TKR di Yogyakarta, Soedirman terpilih menjadi panglima besar, sedangkan Oerip Soemohardjo yang telah aktif di militer sebelum Soedirman lahir, menjadi kepala staf umum. Sembari menunggu pengangkatan, Soedirman memerintahkan serangan terhadap pasukan Inggris dan Belanda di Ambarawa. Pertempuran ini dan penarikan diri tentara Inggris menyebabkan semakin kuatnya dukungan rakyat terhadap Soedirman, dan ia akhirnya diangkat sebagai panglima besar pada tanggal 18 Desember. Selama tiga tahun berikutnya, Soedirman menjadi saksi kegagalan negosiasi dengan tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang pertama adalah Perjanjian Linggarjati – yang turut disusun oleh Soedirman – dan kemudian Perjanjian Renville yang menyebabkan Indonesia harus mengembalikan wilayah yang diambilnya dalam Agresi Militer I kepada Belanda dan penarikan 35.000 tentara Indonesia. Ia juga menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk upaya kudeta pada 1948. Ia kemudian menyalahkan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai penyebab penyakit tuberkulosis-nya; karena infeksi tersebut, paru-paru kanannya dikempeskan pada bulan November 1948.

    Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman keluar dari rumah sakit, Belanda melancarkan Agresi Militer II untuk menduduki Yogyakarta. Pada saat pemimpin-pemimpin politik berlindung di kraton sultan, Soedirman, beserta sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan gerilya selama tujuh bulan. Awalnya mereka diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi Soedirman dan pasukannya berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, di dekat Gunung Lawu. Dari tempat ini, ia mampu mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa, termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto. Ketika Belanda mulai menarik diri, Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan Juli 1949. Meskipun ingin terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, ia dilarang oleh Presiden Soekarno. Penyakit TBC yang diidapnya kambuh; ia pensiun dan pindah ke Magelang. Soedirman wafat kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.

    Kematian Soedirman menjadi duka bagi seluruh rakyat Indonesia. Bendera setengah tiang dikibarkan dan ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan prosesi upacara pemakaman. Soedirman terus dihormati oleh rakyat Indonesia. Perlawanan gerilyanya ditetapkan sebagai sarana pengembangan esprit de corps bagi tentara Indonesia, dan rute gerilya sepanjang 100-kilometer (62 mi) yang ditempuhnya harus diikuti oleh taruna Indonesia sebelum lulus dari Akademi Militer. Soedirman ditampilkan dalam uang kertas rupiah keluaran 1968, dan namanya diabadikan menjadi nama sejumlah jalan, universitas, museum, dan monumen. Pada tanggal 10 Desember 1964, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Indonesia

    Kehidupan awal

    Soedirman lahir dari pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem saat pasangan ini tinggal di rumah saudara Siam yang bernama Darsem di Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga. Tarsem sendiri bersuamikan seorang camat bernama Raden Cokrosunaryo.Menurut catatan keluarga, Soedirman – dinamai oleh pamannya – lahir pada Minggu pon di bulan Maulud dalam penanggalan Jawa; pemerintah Indonesia kemudian menetapkan 24 Januari 1916 sebagai hari ulang tahun Soedirman. Karena kondisi keuangan Cokrosunaryo yang lebih baik, ia mengadopsi Soedirman dan memberinya gelar Raden, gelar kebangsawanan pada suku Jawa.Soedirman tidak diberitahu bahwa Cokrosunaryo bukanlah ayah kandungnya sampai ia berusia 18 tahun.Setelah Cokrosunaryo pensiun sebagai camat pada akhir 1916, Soedirman ikut dengan keluarganya ke Manggisan, Cilacap. Di tempat inilah ia tumbuh besar. Di Cilacap, Karsid dan Siyem memiliki seorang putra lain bernama Muhammad Samingan. Karsid meninggal dunia saat Soedirman berusia enam tahun, dan Siyem menitipkan kedua putranya pada saudara iparnya dan kembali ke kampung halamannya di Parakan Onje, Ajibarang

    Sudirman dibesarkan dengan cerita-cerita kepahlawanan, juga diajarkan etika dan tata krama priyayi, serta etos kerja dan kesederhanaan wong cilik. Untuk pendidikan agama, ia dan adiknya mempelajari Islam di bawah bimbingan kyai haji Kahar; Soedirman adalah anak yang taat agama dan selalu shalat tepat waktu. Ia dipercaya untuk mengumandangkan adzan dan iqamah. Saat berusia tujuh tahun, Soedirman terdaftar di sekolah pribumi (hollandsch inlandsche school). Meskipun hidup berkecukupan, keluarga Soedirman bukanlah keluarga kaya. Selama menjabat sebagai camat, Cokrosunaryo tidak mengumpulkan banyak kekayaan, dan di Cilacap ia bekerja sebagai penyalur mesin jahit Singer

    Pada tahun kelimanya bersekolah, Soedirman diminta untuk berhenti sekolah sehubungan dengan ejekan yang diterimanya di sekolah milik pemerintah; permintaan ini awalnya ditolak, namun Soedirman dipindahkan ke sekolah menengah milik Taman Siswa pada tahun ketujuh sekolah. Pada tahun kedelapan, Soedirman pindah ke Sekolah Menengah Wirotomo setelah sekolah Taman Siswa ditutup oleh Ordonansi Sekolah Liar karena diketahui tidak terdaftar. Kebanyakan guru Soedirman di Wirotomo adalah nasionalis Indonesia, yang turut mempengaruhi pandangannya terhadap penjajah Belanda. Soedirman belajar dengan tekun di sekolah; gurunya Suwarjo Tirtosupono menyatakan bahwa Soedirman sudah mempelajari pelajaran tingkat dua pada saat kelas masih mempelajari pelajaran tingkat satu. Meskipun lemah dalam pelajaran kaligrafi Jawa, Soedirman sangat pintar dalam pelajaran matematika, ilmu alam, dan menulis, baik bahasa Belanda maupun Indonesia.Soedirman juga menjadi makin taat agama di bawah bimbingan gurunya, Raden Muhammad Kholil. Teman-teman sekelasnya memanggilnya “haji” karena ketaatannya dalam beribadah, dan Soedirman juga memberikan ceramah agama kepada siswa lain. Selain belajar dan beribadah, Soedirman juga berpartisipasi dalam kelompok musik sekolah dan bergabung dengan tim sepak bola sebagai bek. Kematian Cokrosunaryo pada tahun 1934 menyebabkan keluarganya jatuh miskin, namun ia tetap diizinkan untuk melanjutkan sekolahnya tanpa membayar sampai ia lulus pada akhir tahun. Setelah kepergian ayah tirinya, Soedirman mencurahkan lebih banyak waktunya untuk mempelajari Sunnah dan doa.Pada usia 19 tahun, Soedirman menjadi guru praktik di Wirotomo.

    Saat bersekolah di Wirotomo, Soedirman adalah anggota Perkumpulan Siswa Wiworotomo, klub drama, dan kelompok musik.Ia membantu mendirikan cabang Hizboel Wathan, sebuah organisasi Kepanduan Putra milik Muhammadiyah. Soedirman menjadi pemimpin Hizboel Wathan cabang Cilacap setelah lulus dari Wirotomo; tugasnya adalah menentukan dan merencanakan kegiatan kelompoknya. Soedirman menekankan perlunya pendidikan agama, bersikeras bahwa kontingen dari Cilacap harus menghadiri konferensi Muhammadiyah di seluruh Jawa.Ia mengajari para anggota muda Hizboel Wathan tentang sejarah Islam dan pentingnya moralitas, sedangkan pada anggota yang lebih tua ia berlakukan disiplin militer

    Mengajar

    Setelah lulus dari Wirotomo, Soedirman belajar selama satu tahun di Kweekschool (sekolah guru) yang dikelola oleh Muhammadiyah di Surakarta, tetapi berhenti karena kekurangan biaya. Pada 1936, ia kembali ke Cilacap untuk mengajar di sebuah sekolah dasar Muhammadiyah, setelah dilatih oleh guru-gurunya di Wirotomo. Pada tahun yang sama, Soedirman menikahi Alfiah, mantan teman sekolahnya dan putri seorang pengusaha batik kaya bernama Raden Sastroatmojo.Setelah menikah, Soedirman tinggal di rumah mertuanya di Cilacap agar ia bisa menabung untuk membangun rumah sendiri. Pasangan ini kemudian dikaruniai tiga orang putra; Ahmad Tidarwono, Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, dan Taufik Effendi, serta empat orang putri; Didi Praptiastuti, Didi Sutjiati, Didi Pudjiati, dan Titi Wahjuti Satyaningrum

    Sebagai guru, Soedirman mengajarkan murid-muridnya pelajaran moral dengan menggunakan contoh dari kehidupan para rasul dan kisah wayang tradisional. Salah seorang muridnya menyatakan bahwa Soedirman adalah guru yang adil dan sabar yang akan mencampurkan humor dan nasionalisme dalam pelajarannya; hal ini membuatnya populer di kalangan muridnya.Meskipun bergaji kecil, Soedirman tetap mengajar dengan giat. Akibatnya, dalam beberapa tahun Soedirman diangkat menjadi kepala sekolah meskipun tidak memiliki ijazah guru.Sebagai hasilnya, gaji bulanannya meningkat empat kali lipat dari tiga gulden menjadi dua belas setengah gulden. Sebagai kepala sekolah, Soedirman mengerjakan berbagai tugas-tugas administrasi, termasuk mencari jalan tengah di antara guru yang berseteru. Seorang rekan kerjanya mengisahkan bahwa Soedirman adalah seorang pemimpin yang moderat dan demokratis. Ia juga aktif dalam kegiatan penggalangan dana, baik untuk kepentingan pembangunan sekolah ataupun untuk pembangunan lainnya.

    Selama waktu-waktu ini, Soedirman juga terus bergiat sebagai anggota Kelompok Pemuda Muhammadiyah. Dalam kelompok ini, ia dikenal sebagai negosiator dan mediator yang lugas, berupaya untuk memecahkan masalah antara para anggota; ia juga berdakwah di masjid setempat. Soedirman terpilih sebagai Ketua Kelompok Pemuda Muhammadiyah Kecamatan Banyumas pada akhir 1937. Selama menjabat, ia memfasilitasi seluruh kegiatan dan pendidikan para anggota, baik dalam bidang agama maupun sekuler. Ia kemudian mengikuti seluruh kegiatan Kelompok Pemuda di Jawa Tengah dan menghabiskan sebagian besar waktu luangnya dengan melakukan perjalanan dan berdakwah, dengan penekanan pada kesadaran diri.Alfiah juga aktif dalam kegiatan kelompok putri Muhammadiyah Nasyiatul Aisyiyah

    Masa pendudukan Jepang

    Ketika Perang Dunia II pecah di Eropa, diperkirakan bahwa Jepang, yang telah bergerak mendekati China daratan, akan berupaya menginvasi Hindia. Sebagai tanggapan, pemerintah kolonial Belanda – yang sebelumnya membatasi pelatihan militer bagi pribumi – mulai mengajari rakyat cara-cara menghadapi serangan udara. Menindaklanjuti hal ini, Belanda kemudian membentuk tim Persiapan Serangan Udara. Soedirman, yang disegani oleh masyarakat, diminta untuk memimpin tim di Cilacap. Selain mengajari warga setempat mengenai prosedur keselamatan untuk menghadapi serangan udara, Soedirman juga mendirikan pos pemantau di seluruh daerah. Ia dan Belanda juga menangani pesawat udara yang menjatuhkan material untuk mensimulasikan pengeboman; hal ini bertujuan untuk mempertinggi tingkat respon

    Jepang mulai menduduki Hindia pada awal 1942 setelah memenangkan beberapa pertempuran melawan pasukan Belanda dan tentara Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) yang dilatih oleh Belanda. Pada 9 Maret 1942, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Jenderal KNIL Hein ter Poorten menyerah. Peristiwa ini menimbulkan perubahan drastis dalam pemerintahan Nusantara dan semakin memperburuk kualitas hidup warga non-Jepang di Hindia, banyak masyarakat pribumi yang menderita dan mengalami pelanggaran hak asasi manusia di tangan Jepang. Di Cilacap, sekolah tempat Soedirman mengajar ditutup dan dialih fungsikan menjadi pos militer; ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk menutup sekolah-sekolah swasta.Setelah Soedirman berhasil meyakinkan Jepang untuk membuka kembali sekolah, ia dan guru lainnya terpaksa menggunakan perlengkapan standar. Selama periode ini, Soedirman juga terlibat dalam beberapa organisasi sosial dan kemanusiaan, termasuk sebagai ketua Koperasi Bangsa Indonesia.Hal ini membuatnya semakin dihormati di kalangan masyarakat Cilacap

    Pada awal 1944, setelah menjabat selama satu tahun sebagai perwakilan di dewan karesidenan yang dijalankan oleh Jepang (Syu Sangi Kai),Soedirman diminta untuk bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA). Jepang sendiri mendirikan PETA pada Oktober 1943 untuk membantu menghalau invasi Sekutu, dan berfokus dalam merekrut para pemuda yang belum “terkontaminasi” oleh pemerintah Belanda. Meskipun sempat ragu-ragu, terutama karena cedera lutut yang dialaminya ketika masih remaja, Soedirman akhirnya setuju untuk memulai pelatihan di Bogor, Jawa Barat. Sehubungan dengan posisinya di masyarakat, Soedirman dijadikan sebagai komandan (daidanco) dan dilatih bersama orang lain dengan pangkat yang sama. Di Bogor, ia dilatih oleh para perwira dan tentara Jepang, para taruna dipersenjatai dengan peralatan yang disita dari Belanda. Setelah empat bulan pelatihan, Soedirman ditempatkan di batalyon Kroya, Banyumas, Jawa Tengah, tidak jauh dari Cilacap.

    Jabatan Soedirman sebagai komandan PETA berlalu tanpa banyak peristiwa hingga tanggal 21 April 1945, ketika tentara PETA di bawah komando Kusaeri mulai melancarkan pemberontakan terhadap Jepang. Diperintahkan untuk menghentikan pemberontakan tersebut, Soedirman setuju untuk melakukannya dengan syarat agar pemberontak PETA tidak dibunuh, dan lokasi persembunyian mereka tidak dimusnahkan; syarat ini diterima oleh komandan Jepang, dan Soedirman beserta pasukannya mulai mencari para pemberontak. Meskipun anak buah Kusaeri berhasil menembak komandan Jepang, Soedirman melalui pengeras suara mengumumkan bahwa mereka tidak akan dibunuh, dan para pemberontak pun mundur. Kusaeri menyerah pada tanggal 25 April.Peristiwa ini meningkatkan dukungan terhadap Soedirman di kalangan tentara Jepang, meskipun beberapa perwira tinggi Jepang menyatakan keprihatinannya atas dukungan Soedirman bagi kemerdekaan Indonesia. Soedirman dan anak buahnya kemudian dikirim ke sebuah kamp di Bogor dengan alasan akan dilatih; namun sebenarnya mereka dipekerjakan sebagai pekerja kasar dalam upaya untuk mencegah pemberontakan lebih lanjut, dan desas-desus mengatakan bahwa perwira PETA akan dibunuh

    Revolusi Nasional

    Panglima besar

    Setelah berita tentang pengeboman Hiroshima dan Nagasaki mencapai Hindia pada awal Agustus 1945, yang kemudian diikuti oleh proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus,kontrol Jepang sudah mulai melemah. Soedirman memimpin pelarian dari pusat penahanan di Bogor. Meskipun rekannya sesama tahanan ingin menyerang tentara Jepang, Soedirman menentang hal itu. Setelah memerintahkan yang lainnya untuk kembali ke kampung halamannya, Soedirman berangkat menuju Jakarta dan bertemu dengan Presiden Soekarno, yang memintanya untuk memimpin perlawanan terhadap pasukan Jepang di kota. Karena tidak terbiasa dengan lingkungan Jakarta, Soedirman menolaknya, ia malah menawarkan diri untuk memimpin pasukan di Kroya. Soedirman bergabung dengan pasukannya pada tanggal 19 Agustus 1945.Pada saat yang bersamaan, pasukan Sekutu sedang dalam proses merebut kembali kepulauan Indonesia untuk Belanda,tentara Inggris pertama kali tiba pada tanggal 8 September 1945

    Pada tanggal 22 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidangnya memutuskan untuk membentuk tiga badan sebagai wadah untuk menyalurkan potensi perjuangan rakyat. Badan tersebut adalah Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Badan Keamanan Rakyat (BKR).BKR merupakan bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang semula bernama Badan Pembantu Prajurit, dan kemudian menjadi Badan Pembantu Pembelaan (BPP). BPP sudah ada sejak zaman Jepang dan bertugas memelihara kesejahteraan anggota-anggota tentara PETA dan Heihō.Pada tanggal 18 Agustus 1945, Jepang membubarkan PETA dan Heihō. Tugas untuk menampung mantan anggota PETA dan Heihō ditangani oleh BPKKP.Pembentukan BKR merupakan perubahan dari hasil sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 yang telah memutuskan untuk membentuk Tentara Kebangsaan, yang diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945. BKR ini berfungsi sebagai organisasi kepolisian, terutama karena pemimpin politik saat itu yang berniat memanfaatkan diplomasi sebagai sarana penggalangan bantuan internasional terhadap negara baru, dan juga untuk memungkinan tentara Jepang melihatnya sebagai sebuah ancaman bersenjata sehingga mencegah kemunculan tentara Jepang yang masih ada di nusantara

    Soedirman dan beberapa rekannya sesama tentara PETA mendirikan cabang BKR di Banyumas pada akhir Agustus, setelah sebelumnya singgah di Kroya dan mengetahui bahwa batalyon di sana telah dibubarkan. Dalam pertemuannya dengan komandan wilayah Jepang, Saburo Tamura, dan Residen Banyumas, Iwashige, Soedirman dan Iskaq Cokroadisuryo memaksa Jepang untuk menyerahkan diri dan memberikan senjata mereka, sementara kerumunan warga Indonesia bersenjata mengepung kamp Jepang. Sebagian besar senjata ini kemudian digunakan oleh unit BKR Soedirman, menjadikan unitnya sebagai salah satu unit dengan senjata terbaik di Indonesia; sisa senjata juga dibagikan kepada batalyon lain.

    Sebagai negara yang baru merdeka dan belum memiliki militer yang profesional, pada tanggal 5 Oktober 1945 Soekarno mengeluarkan dekrit pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR, sekarang dikenal dengan Tentara Nasional Indonesia). Sebagian besar personilnya adalah mantan tentara KNIL, sedangkan perwira tinggi berasal dari PETA dan Heihō. Dekrit mengangkat Soeprijadi sebagai Panglima Besar TKR, namun ia tidak muncul, dan kepala staf Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo ditetapkan sebagai pemimpin sementara.Pada bulan Oktober, pasukan Inggris, yang bertugas melucuti senjata tentara Jepang dan memulangkan tawanan perang Belanda, tiba di Semarang, dan kemudian bergerak menuju Magelang. Ketika Inggris mulai mempersenjatai kembali tentara Belanda yang menjadi tawanan perang dan sepertinya sedang mempersiapkan sebuah pangkalan militer di Magelang, Soedirman – yang sekarang menjadi kolonel – mengirim beberapa pasukannya di bawah pimpinan Letnan Kolonel Isdiman untuk mengusir mereka; misi ini berhasil, dan tentara Eropa menarik diri dari Ambarawa, di tengah-tengah Magelang dan Semarang.Pada 20 Oktober, Soedirman membawahi Divisi V setelah Oerip membagi Pulau Jawa menjadi divisi militer yang berbeda.

    Pada tanggal 12 November 1945, dalam pertemuan pertama TKR, Soedirman terpilih sebagai pemimpin TKR setelah melalui pemungutan suara buntu dua tahap. Pada tahap ketiga, Oerip mengumpulkan 21 suara, sedangkan Soedirman unggul dengan 22 suara; para komandan divisi Sumatra semuanya memilih Soedirman.Soedirman, yang saat itu berusia 29 tahun, terkejut atas hasil pemilihan dan menawarkan diri untuk melepas posisi tersebut kepada Oerip, namun para peserta rapat tidak mengizinkannya. Oerip, yang telah kehilangan kendali dalam pertemuan bahkan sebelum pemungutan suara dimulai, merasa senang karena tidak lagi bertanggung jawab atas TKR. Soedirman tetap menunjuk Oerip sebagai kepala staf. Sesuai dengan jabatan barunya, Soedirman dipromosikan menjadi Jenderal.Setelah pertemuan, Soedirman kembali ke Banyumas sembari menunggu persetujuan pemerintah dan mulai mengembangkan strategi mengenai bagaimana mengusir tentara Sekutu. Rakyat Indonesia khawatir bahwa Belanda, yang diboncengi oleh Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA), akan berupaya untuk merebut kembali nusantara. Tentara gabungan Belanda-Inggris telah mendarat di Jawa pada bulan September, dan pertempuran besar telah terjadi di Surabaya pada akhir Oktober dan awal November. Ketidakstabilan ini, serta keraguan Soekarno atas kualifikasi Soedirman, menyebabkan terlambatnya pengangkatan Soedirman sebagai pemimpin TKR

    Sambil menunggu pengangkatan, pada akhir November Soedirman memerintahkan Divisi V untuk menyerang pasukan Sekutu di Ambarawa, sekali lagi dikomandoi oleh Isdiman; kota itu dianggap penting secara strategis karena memiliki barak militer dan fasilitas pelatihan yang sudah ada sejak zaman penjajahan. Serangan ini dilumpuhkan oleh serangan udara dan tank-tank Sekutu, yang memaksa divisi untuk mundur, Isdiman sendiri tewas dalam pertempuran, terbunuh oleh pemberondong P-51 Mustang.

    Soedirman kemudian memimpin Divisi dalam serangan lain terhadap pasukan Sekutu; tentara Indonesia dipersenjatai dengan berbagai senjata, mulai dari bambu runcing dan katana sitaan sebagai senjata, sedangkan tentara Inggris dipersenjatai dengan peralatan modern. Soedirman memimpin di barisan depan sambil memegang sebuah katana.Sekutu, yang fasilitas serangan udaranya telah musnah saat tentara gerilya menyerang Lapangan Udara Kalibanteng di Semarang, berhasil dipukul mundur dan bersembunyi di Benteng Willem. Pada 12 Desember, Soedirman memimpin pengepungan empat hari, yang menyebabkan pasukan Sekutu mundur ke Semarang.

    Pertempuran Ambarawa membuat Soedirman lebih diperhatikan di tingkat nasional, dan membungkam bisik-bisik yang menyatakan bahwa ia tidak layak menjadi pemimpin TKR karena kurangnya pengalaman militer dan pekerjaannya sebelumnya adalah guru sekolah. Pada akhirnya, Soedirman dipilih karena kesetiaannya yang tidak diragukan, sementara kesetiaan Oerip kepada Belanda dipandang dengan penuh kecurigaan. Soedirman dikukuhkan sebagai panglima besar TKR pada tanggal 18 Desember 1945. Posisinya sebagai kepala Divisi V digantikan oleh Kolonel Sudiro, dan mulai berfokus pada masalah-masalah strategis.Hal yang dilakukannya antara lain dengan membentuk dewan penasihat, yang bertugas memberikan saran mengenai masalah-masalah politik dan militer. Oerip sendiri menangani masalah-masalah militer.

    Bersama-sama, Soedirman dan Oerip mampu mengurangi perbedaan dan rasa ketidakpercayaan yang tumbuh di antara mantan tentara KNIL dan PETA, meskipun beberapa tentara tidak bersedia tunduk kepada militer pusat, dan lebih memilih untuk mengikuti komandan batalyon pilihan mereka. Pemerintah mengganti nama Angkatan Perang sebanyak dua kali pada Januari 1946, yang pertama adalah Tentara Keselamatan Rakyat, kemudian diganti lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Pergantian nama ini diakhiri dengan membentuk secara resmi angkatan laut dan angkatan udara pada awal 1946. Sementara itu, pemerintah Indonesia memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta – sekarang di bawah kontrol Belanda – ke Yogyakarta pada bulan Januari; delegasi yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir melakukan negosiasi dengan Belanda pada bulan April dan Mei terkait dengan pengakuan kedaulatan Indonesia, namun tidak berhasil.Pada tanggal 25 Mei, Soedirman dikukuhkan kembali sebagai panglima besar setelah reorganisasi dan perluasan militer. Dalam upacara pengangkatannya, Soedirman bersumpah untuk melindungi republik “sampai titik darah penghabisan.” Menteri Pertahanan yang berhaluan kiri, Amir Sjarifoeddin, memperoleh kekuasaan yang lebih besar setelah reorganisasi militer. Ia mulai mengumpulkan para tentara sosialis dan komunis di bawah kontrolnya, termasuk unit paramiliter (laskar) sayap kiri yang setia dan didanai oleh berbagai partai politik. Sjarifuddin melembagakan program pendidikan politik di tubuh angkatan perang, yang bertujuan untuk menyebarkan ideologi sayap kiri. Memanfaatkan militer sebagai alat manuvering politik tidak disetujui oleh Soedirman dan Oerip, yang pada saat itu disibukkan dengan penerapan perlakuan yang sama bagi tentara dari latar belakang militer berbeda.Namun, rumor yang beredar mengabarkan bahwa Soedirman sedang mempersiapkan sebuah kudeta; upaya kudeta tersebut terjadi pada awal Juli 1946, dan peran Soedirman, kalaupun ada, tidak dapat dipastikan. Pada bulan Juli, Soedirman mengkonfirmasi rumor ini melalui pidato yang disiarkan di Radio Republik Indonesia (RRI), menyatakan bahwa ia, seperti semua rakyat Indonesia, adalah abdi negara,dan jika dirinya ditawari jabatan presiden, ia akan menolaknya.Di kemudian hari, ia menyatakan bahwa militer tidak memiliki tempat dalam politik, begitu juga sebaliknya

    Negosiasi dengan Belanda

    Sementara itu, Sjahrir terus berusaha bernegosiasi dengan pasukan Sekutu. Pada tanggal 7 Oktober 1946, Sjahrir dan mantan Perdana Menteri Belanda, Wim Schermerhorn, sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Perundingan ini dimoderatori oleh diplomat Inggris Lord Killearn, dan juga melibatkan Soedirman. Ia berangkat ke Jakarta dengan menggunakan kereta khusus pada tanggal 20 Oktober. Namun, ia diperintahkan untuk kembali ke Yogyakarta setelah tentara Belanda tidak mengizinkan dirinya dan anak buahnya memasuki Jakarta dengan bersenjata. Soedirman merasa bahwa perintah tersebut melanggar harga dirinya; Belanda kemudian meminta maaf, menyatakan bahwa peristiwa ini hanyalah kesalahpahaman. Soedirman berangkat dengan kereta lainnya pada akhir Oktober, dan tiba di Stasiun Gambir pada tanggal 1 November. Di Jakarta, ia disambut oleh kerumunan besar. Perundingan di Jakarta berakhir dengan perumusan Perjanjian Linggarjati pada tanggal 15 November; perjanjian ini disahkan pada 25 Maret 1947, meskipun ditentang oleh para nasionalis Indonesia.Soedirman secara lantang juga menentang perjanjian tersebut karena ia tahu bahwa perjanjian itu akan merugikan kepentingan Indonesia, namun menganggap dirinya juga wajib mengikuti perintah.

    Pada awal 1947, kondisi sudah relatif damai setelah Perjanjian Linggarjati. Soedirman mulai berupaya untuk mengonsolidasikan TKR dengan berbagai laskar. Dalam upayanya ini, Soedirman mulai melaksanakan reorganisasi militer; kesepakatan baru bisa tercapai pada Mei 1947, dan pada 3 Juni 1947, Tentara Nasional Indonesia (TNI) diresmikan. TNI terdiri dari TKR dan tentara dari berbagai kelompok laskar, yang berhasil merangkul Soedirman setelah mengetahui bahwa mereka dimanfaatkan oleh partai-partai politik. Namun, gencatan senjata yang berlangsung pasca Perjanjian Linggarjati tidak bertahan lama. Pada tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda –yang telah menduduki wilayah peninggalan Inggris selama penarikan mereka – melancarkan Agresi Militer, dan dengan cepat berhasil menguasai sebagian besar Jawa dan Sumatra. Meskipun demikian, pemerintahan pusat di Yogyakarta tetap tak tersentuh.Soedirman menyerukan kepada para tentara untuk melawan dengan menggunakan semboyan “Ibu Pertiwi memanggil!,dan kemudian menyampaikan beberapa pidato melalui RRI, namun upayanya ini gagal mendorong tentara untuk berperang melawan Belanda.Terlebih lagi, tentara Indonesia sedang tidak siap dan pertahanan mereka ditaklukkan dengan cepat

    Setelah ditekan oleh PBB, yang memandang situasi di bekas Hindia dengan remeh, pada 29 Agustus 1947 Belanda menciptakan Garis Van Mook. Garis ini membagi wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Belanda dan Indonesia. Di sepanjang garis ini, gencatan senjata diberlakukan. Soedirman memanggil para gerilyawan Indonesia yang bersembunyi di wilayah taklukan Belanda, memerintahkan mereka agar kembali ke wilayah yang dikuasai Indonesia. Untuk tetap mengobarkan semangat mereka, ia menyebut penarikan ini dengan hijrah, merujuk pada perjalanan nabi Muhammad ke Madinah pada tahun 622 M, dan meyakinkan bahwa mereka akan kembali. Lebih dari 35.000 tentara meninggalkan Jawa bagian barat dan berangkat menuju Yogyakarta dengan menggunakan kereta dan kapal laut. Perbatasan ini diresmikan melalui Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948; penandatangan perjanjian ini di antaranya adalah Amir Sjarifuddin, yang pada saat itu menjabat sebagai perdana menteri. Pada saat yang bersamaan, Sjarifuddin mulai rasionalisasi TNI (Program Re-Ra) dengan memangkas jumlah pasukan.Pada saat itu, tentara reguler terdiri dari 350.000 personel, dan lebih dari 470.000 terdapat di laskar.

    Dengan adanya program ini, pada tanggal 2 Januari 1948 Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No.1 Tahun 1948, yang memecah pucuk pimpinan TNI menjadi Staf Umum Angkatan Perang dan Markas Besar Pertempuran. Staf Umum dimasukkan ke dalam Kementerian Pertahanan di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP). Sementara itu, Markas Besar Pertempuran dipimpin oleh seorang Panglima Besar Angkatan Perang Mobil. Pucuk pimpinan TNI dan Staf Gabungan Angkatan Perang beserta seluruh perwira militer dihapus, dan pangkatnya diturunkan satu tingkat. Presiden kemudian mengangkat Soerjadi Soerjadarma sebagai Kepala Staf Angkatan Perang dengan Kolonel T.B. Simatupang sebagai wakilnya. Sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Mobil diangkat Soedirman. Staf Umum Angkatan Perang bertugas sebagai perencana taktik dan siasat serta berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan, sedangkan Staf Markas Besar Angkatan Perang Mobil adalah pelaksana taktis operasional

    Keputusan Presiden ini menimbulkan reaksi di kalangan angkatan perang. Pada tanggal 27 Februari 1948, presiden mengeluarkan Ketetapan Presiden No.9 Tahun 1948 yang membatalkan ketetapan yang lama. Dalam ketetapan yang baru ini, Staf Angkatan Perang tetap di bawah Soerjadi Soerjadarma, sedangkan Markas Besar Pertempuran tetap di bawah Soedirman, ditambah wakil panglima yaitu Djenderal Major A.H. Nasution. Angkatan perang berada di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP) yang membawahi Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL), dan Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU). Dalam penataannya, organisasi ini dibagi menjadi 2 bagian; penataan kementerian dan pimpinan tertinggi ditangani oleh KASAP, sementara mengenai pasukan serta daerah-daerah pertahanan ditangani oleh Wakil

    Panglima Besar Angkatan Perang.

    Tak lama setelah itu, Sjafruddin digulingkan dalam mosi tidak percaya atas keterlibatannya dalam Perjanjian Renville, dan perdana menteri yang baru, Mohammad Hatta, berupaya untuk menerapkan program rasionalisasi.Hal ini menimbulkan perdebatan di antara kelompok yang pro dan anti-rasionalisasi. Soedirman menjadi tempat mengadu dan pendorong semangat bagi para tentara, termasuk sejumlah komandan senior yang menentang program rasionalisasi. Soedirman secara resmi dikembalikan ke posisinya pada tanggal 1 Juni 1948. Untuk menyelesaikan penataan organisasi ini, Soedirman membentuk sebuah panitia yang anggotanya ditunjuk oleh Panglima sendiri. Anggota panitia terdiri dari Jenderal Mayor Soesalit Djojoadhiningrat (mantan PETA dan laskar), Djenderal Mayor Suwardi (mantan KNIL) dan Djenderal Mayor A.H. Nasution dari perwira muda. Penataan organisasi TNI selesai pada akhir tahun 1948, setelah Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, Kolonel Hidajat Martaatmadja, menyelesaikan penataan organisasi tentara di Pulau Sumatra.

    Setelah program rasionalisasi mereda, Sjarifuddin mulai mengumpulkan tentara dari Partai Sosialis, Partai Komunis, dan anggota Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia untuk mengobarkan revolusi proletar di Madiun, Jawa Timur, yang berlangsung pada tanggal 18 September 1948. , yang saat itu sedang sakit, mengirim Nasution untuk memadamkan revolusi; Soedirman juga mengirim dua perwira lainnya sebagai antena perdamaian sebelum serangan. Meskipun pemimpin revolusi, Muso, telah sepakat untuk berdamai, Nasution dan pasukannya berhasil menumpas pemberontakan pada 30 September. Soedirman mengunjungi Madiun tidak lama setelah pertempuran; ia mengatakan kepada istrinya bahwa ia tidak bisa tidur di sana karena pertumpahan darah yang terjadi

    Pemberontakan di Madiun, dan ketidakstabilan politik yang sedang berlangsung, melemahkan kondisi kesehatan Soedirman. Pada tanggal 5 Oktober 1948, setelah perayaan hari jadi TNI ketiga, Soedirman pingsan. Setelah diperiksa oleh berbagai dokter, ia didiagnosa mengidap tuberkulosis (TBC). Pada akhir bulan, ia dibawa ke Rumah Sakit Umum Panti Rapih dan menjalani pengempisan paru-paru kanan, dengan harapan bahwa tindakan ini akan menghentikan penyebaran penyakit tersebut. Selama di rumah sakit, ia melimpahkan sebagian tugas kepada Nasution. Mereka berdua terus mendiskusikan rencana untuk berperang melawan Belanda, dan secara rutin menerima laporan. Mereka sepakat bahwa perang gerilya, yang telah diterapkan di wilayah taklukan Belanda sejak bulan Mei, adalah perang yang paling cocok bagi kepentingan mereka; untuk mewujudkan hal ini, Soedirman mengeluarkan perintah umum pada 11 November,dan persiapannya ditangani oleh Nasution. dipulangkan dari rumah sakit pada tanggal 28 November 1948

    Meskipun ia terus mengeluarkan perintah, Soedirman baru kembali aktif bertugas pada tanggal 17 Desember. Seiring dengan semakin meningkatnya ketegangan antara tentara Indonesia dan Belanda, ia memerintahkan TNI untuk meningkatkan kewaspadaan;ia juga memerintahkan latihan militer skala besar dalam upayanya–yang gagal–untuk meyakinkan Belanda bahwa TNI terlalu kuat untuk diserang. Dua hari kemudian, diumumkan bahwa mereka tak lagi terikat dengan Perjanjian Renville. Pada 19 Desember, Belanda melancarkan Agresi Militer Kedua untuk merebut ibukota Yogyakarta. Pukul 07.00 Waktu Indonesia Barat, lapangan udara di Maguwo berhasil diambil alih oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Eekhout. , yang telah menyadari serangan itu, memerintahkan stasiun RRI untuk menyiarkan pernyataan bahwa para tentara harus melawan karena mereka telah dilatih – sebagai gerilyawan

    Soedirman kemudian mengunjungi Istana Presiden di Yogyakarta, tempat para pemimpin pemerintahan sedang mendiskusikan ultimatum yang menyatakan bahwa kota itu akan diserbu kecuali para pemimpin menerima kekuasaan kolonial.  mendesak presiden dan wakil presiden agar meninggalkan kota dan berperang sebagai gerilyawan, namun sarannya ini ditolak. Meskipun dokter melarangnya, Soedirman mendapat izin dari Soekarno untuk bergabung dengan anak buahnya. Pemerintah pusat dievakuasi ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat atas desakan Sultan Hamengkubuwono IX, namun mereka tertangkap dan diasingkan

    Perang gerilya

    Sebelum memulai gerilya, Soedirman pertama-tama pergi ke rumah dinasnya dan mengumpulkan dokumen-dokumen penting, lalu membakarnya untuk mencegahnya jatuh ke tangan Belanda. Soedirman, bersama sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, mulai bergerak ke arah selatan menuju Kretek, Parangtritis, Bantul. Setibanya disana, mereka disambut oleh bupati pada pukul 18.00. Selama di Kretek, Soedirman mengutus tentaranya yang menyamar ke kota yang telah diduduki oleh Belanda untuk melakukan pengintaian, dan meminta istrinya menjual perhiasannya untuk membantu mendanai gerakan gerilya. Setelah beberapa hari di Kretek, ia dan kelompoknya melakukan perjalanan ke timur di sepanjang pantai selatan menuju Wonogiri. Sebelum Belanda menyerang, sudah diputuskan bahwa Soedirman akan mengontrol para gerilyawan dari Jawa Timur, yang masih memiliki beberapa pangkalan militer. Sementara itu, Alfiah dan anak-anaknya diperintahkan untuk tinggal di Keraton. Sadar bahwa Belanda sedang memburu mereka, pada tanggal 23 Desember Soedirman memerintahkan pasukannya untuk melanjutkan perjalanan ke Ponorogo. Di sana, mereka berhenti di rumah seorang ulama bernama Mahfuz; Mahfuz memberi sang jenderal sebuah tongkat untuk membantunya berjalan, meskipun Soedirman terus dibopong dengan menggunakan tandu di sepanjang perjalanan. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke timur

    Di dekat Trenggalek, Soedirman dan kelompoknya dihentikan oleh prajurit TNI dari Batalyon 102.Para tentara ini diberitahu bahwa Soedirman –yang saat itu berpakaian sipil dan dan tidak dikenali oleh tentara yang menghentikan mereka – adalah tahanan dan menolak untuk melepaskan Soedirman dan kelompoknya;mereka mencurigai konvoi Soedirman yang membawa peta dan catatan militer Indonesia, benda yang mungkin dimiliki oleh mata-mata. Ketika sang komandan, Mayor Zainal Fanani, datang untuk memeriksa keadaan, ia menyadari bahwa orang itu adalah Soedirman dan segera meminta maaf. Fanani beralasan bahwa tindakan anak buahnya sudah tepat karena menjaga wilayah dengan saksama. Ia juga menyebutkan tentang sebuah pos di Kediri dan menyediakan mobil untuk mengangkut Soedirman dan pasukannya. Setelah beberapa saat di Kediri, mereka melanjutkan perjalanan lebih jauh ke timur; setelah mereka meninggalkan kota pada tanggal 24 Desember, Belanda berencana untuk menyerang Kediri.

    Serangan Belanda yang berkelanjutan menyebabkan harus mengganti pakaiannya dan memberikan pakaian lamanya pada salah seorang prajuritnya, Letnan Heru Kesser –yang memiliki kemiripan dengan . Kesser diperintahkan untuk menuju selatan bersama sekompi besar tentara, mengganti pakaiannya, dan diam-diam kembali ke utara, sedangkan Soedirman menunggu di Karangnongko. Pengalihan ini berhasil, dan pada 27 Desember, Soedirman dan anak buahnya bergerak menuju Desa Jambu dan tiba pada 9 Januari 1949. Di sana, Soedirman bertemu dengan beberapa menteri yang tidak berada di Yogyakarta saat penyerangan: Supeno, Susanto Tirtoprojo, dan Susilowati. Bersama para politisi ini, Soedirman berjalan ke Banyutowo sambil memerintahkan beberapa tentaranya untuk menahan pasukan Belanda. Di Banyutowo, mereka menetap selama seminggu lebih. Namun, pada 21 Januari, tentara Belanda mendekati desa. Soedirman dan rombongannya terpaksa meninggalkan Banyutowo, berjuang menembus jalan dalam hujan lebat

    Soedirman dan pasukannya terus melakukan perjalanan melewati hutan dan rimba, akhirnya tiba di Sobo, di dekat Gunung Lawu, pada tanggal 18 Februari. Selama perjalanannya ini, Soedirman menggunakan sebuah radio untuk memberi perintah pada pasukan TNI setempat jika ia yakin bahwa daerah itu aman. Merasa lemah karena kesulitan fisik yang dihadapi, termasuk perjuangannya melewati hutan dan kekurangan makanan, yakin bahwa Sobo aman dan memutuskan untuk menggunakannya sebagai markas gerilya.Komandan tentara setempat, Letnan Kolonel Wiliater Hutagalung, berperan sebagai perantara antara dirinya dengan pemimpin TNI lain. Mengetahui bahwa opini internasional yang mulai mengutuk tindakan Belanda di Indonesia bisa membuat Indonesia menerima pengakuan yang lebih besar, Soedirman dan Hutagalung mulai membahas kemungkinan untuk melakukan serangan besar-besaran.Sementara itu, Belanda mulai menyebarkan propaganda yang mengklaim bahwa mereka telah menangkap, propaganda tersebut bertujuan untuk mematahkan semangat para gerilyawan.

    Soedirman memerintahkan Hutagalung untuk mulai merencanakan serangan besar-besaran, dengan prajurit TNI berseragam akan menyerang Belanda dan menunjukkan kekuatan mereka di depan wartawan asing dan tim investigasi PBB. Hutagalung, bersama para prajurit dan komandannya, Kolonel Bambang Sugeng, serta pejabat pemerintahan di bawah pimpinan Gubernur Wongsonegoro, menghabiskan waktu beberapa hari dengan membahas cara-cara untuk memastikan agar serangan itu berhasil. Pertemuan ini menghasilkan rencana Serangan Umum 1 Maret 1949; pasukan TNI akan menyerang pos-pos Belanda di seluruh Jawa Tengah. Pasukan TNI di bawah komando Letnan Kolonel Soeharto berhasil merebut kembali Yogyakarta dalam waktu enam jam, menjadi unjuk kekuatan yang sukses dan menyebabkan Belanda kehilangan muka di mata internasional; Belanda sebelumnya menyatakan bahwa TNI sudah diberantas.Namun, siapa tepatnya yang memerintahkan serangan ini masih belum jelas: Soeharto dan Hamengkubuwono IX sama-sama mengaku bertanggung jawab atas serangan ini, sedangkan saudara Bambang Sugeng juga menyatakan bahwa dia lah yang telah memerintahkan serangan tersebut

    Karena semakin meningkatnya tekanan dari PBB, pada 7 Mei 1949 Indonesia dan Belanda menggelar perundingan, yang menghasilkan Perjanjian Roem-Royen. Perjanjian ini menyatakan bahwa Belanda harus menarik pasukannya dari Yogyakarta, beserta poin-poin lainnya; Belanda mulai menarik pasukannya pada akhir Juni, dan para pemimpin Indonesia di pengasingan kembali ke Yogyakarta pada awal Juli. Soekarno lalu memerintahkan untuk kembali ke Yogyakarta, tetapi Soedirman menolak untuk membiarkan Belanda menarik diri tanpa perlawanan; ia menganggap pasukan TNI pada saat itu sudah cukup kuat untuk mengalahkan pasukan Belanda. Meskipun ia dijanjikan akan diberi obat-obatan dan dukungan di Yogyakarta, Soedirman menolak untuk kembali ke kalangan politisi, yang menurutnya telah sepaham dengan Belanda. baru setuju untuk kembali ke Yogyakarta setelah menerima sebuah surat, yang pengirimnya masih diperdebatkan. Pada tanggal 10 Juli, dan kelompoknya kembali ke Yogyakarta, mereka disambut oleh ribuan warga sipil dan diterima dengan hangat oleh para elit politik di sana. Wartawan Rosihan Anwar, yang hadir pada saat itu, menulis pada 1973 bahwa “Soedirman harus kembali ke Yogyakarta untuk menghindari anggapan adanya keretakan antar pemimpin tertinggi republik

    Pascaperang

    Pada awal Agustus, Soedirman mendekati Soekarno dan memintanya untuk melanjutkan perang gerilya; Soedirman tidak percaya bahwa Belanda akan mematuhi Perjanjian Roem-Royen, belajar dari kegagalan perjanjian sebelumnya. Soekarno tidak setuju, yang menjadi pukulan bagi Soedirman. Soedirman menyalahkan ketidakkonsistenan pemerintah sebagai penyebab penyakit tuberkulosisnya dan kematian Oerip pada 1948, ia mengancam akan mengundurkan diri dari jabatannya, namun Soekarno juga mengancam akan melakukan hal yang sama. Setelah ia berpikir bahwa pengunduran dirinya akan menyebabkan ketidakstabilan, tetap menjabat, dan gencatan senjata di seluruh Jawa mulai diberlakukan pada tanggal 11 Agustus 1949.

    Soedirman terus berjuang melawan TBC dengan melakukan pemeriksaan di Panti Rapih. Ia menginap di Panti Rapih menjelang akhir tahun, dan keluar pada bulan Oktober; ia lalu dipindahkan ke sebuah sanatorium di dekat Pakem. Akibat penyakitnya ini, jarang tampil di depan publik  Ia dipindahkan ke sebuah rumah di Magelang pada bulan Desember.Pada saat yang bersamaan, pemerintah Indonesia dan Belanda mengadakan konferensi panjang selama beberapa bulan yang berakhir dengan pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. Meskipun sedang sakit, Soedirman saat itu juga diangkat sebagai panglima besar TNI di negara baru bernama Republik Indonesia Serikat. Pada 28 Desember, Jakarta kembali dijadikan sebagai ibu kota negara

    Kematian

    Soedirman meninggal dunia di Magelang pada pukul 18.30 malam pada tanggal 29 Januari 1950; kabar duka ini dilaporkan dalam sebuah siaran khusus di RRI. Setelah berita kematiannya disiarkan, rumah keluarga  dipadati oleh para pelayat, termasuk semua anggota Brigade IX yang bertugas di lingkungan tersebut. Keesokan harinya, jenazah Soedirman dibawa ke Yogyakarta, diiringi oleh konvoi pemakaman yang dipimpin oleh empat tank dan delapan puluh kendaraan bermotor,dan ribuan warga yang berdiri di sisi jalan. Konvoi tersebut diselenggarakan oleh anggota Brigade IX.

    Jenazah disemayamkan di Masjid Gedhe Kauman pada sore hari, yang dihadiri oleh sejumlah elit militer dan politik Indonesia maupun asing, termasuk Perdana Menteri Abdul Halim, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Menteri Kesehatan Johannes Leimena, Menteri Keadilan Abdoel Gaffar Pringgodigdo, Menteri Informasi Arnold Mononutu, Kepala Staf TNI AU Soerjadi Soerjadarma, Kolonel Paku Alam VIII, dan Soeharto. Upacara ini ditutup dengan prosesi hormat 24 senjata. Jenazah kemudian dibawa ke Taman Makam Pahlawan Semaki dengan berjalan kaki, sementara kerumunan pelayat sepanjang 2 kilometer (1,2 mi)* mengiringi di belakang. Ia dikebumikan di sebelah Oerip setelah prosesi hormat senjata. Istrinya menuangkan tanah pertama ke makamnya, lalu diikuti oleh para menteri.Pemerintah pusat memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung di seluruh negeri, dan Soedirman dipromosikan menjadi jenderal penuh. Djenderal Mayor Tahi Bonar Simatupang terpilih sebagai pemimpin angkatan perang yang baru. Memoar diterbitkan pada tahun itu, dan rangkaian pidato-pidatonya juga diterbitkan pada tahun 1970

    Reaksi

    Surat kabar harian Yogyakarta, Kedaulatan Rakyat, menulis bahwa Indonesia telah kehilangan seorang “pahlawan yang jujur dan pemberani. Kolonel Paku Alam VIII, yang bertanggung jawab atas wilayah Yogyakarta, mengatakan kepada kantor berita nasional Antara bahwa seluruh rakyat Indonesia, khususnya angkatan perang, telah “kehilangan seorang bapak yang tidak ternilai jasa-jasanya kepada tanah air”. Tokoh Muslim Indonesia, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, menggambarkan sosok Soedirman sebagai “lambang dari kebangunan jiwa pahlawan Indonesia”,sedangkan politisi Muslim Muhammad Isa Anshary menyatakan bahwa Soedirman adalah “putra revolusi, karena dia lahir dalam revolusi, dan dibesarkan oleh revolusi”.Dalam sebuah pidato radio, Hatta mengungkapkan bahwa Soedirman adalah sosok yang tidak mungkin bisa dikendalikan dan keras kepala, tetapi tetap bertekad untuk melakukan yang benar bagi negara; Hatta berkata meskipun Soedirman tidak menyukai jabatan pemerintahan, ia secara umum tetap mematuhi perintahnya.Namun, Hamengkubuwono IX mengungkapkan bahwa tentara terlatih seperti Abdul Haris Nasution dan Tahi Bonar Simatupang kecewa terhadap Soedirman karena latar belakang dan pengetahuan teknik militernya yang buruk

    Warisan

    Opini modern yang berkembang di Indonesia mengenai cenderung berupa pujian. Sardiman, seorang profesor sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta, menulis bahwa Soedirman hidup sebagai pembicara seperti Soekarno, yang dikenal karena pidatonya yang berapi-api, dan pemimpin yang berbakti dan tidak bisa disuap. Sejarawan Indonesia dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto menggambarkan sebagai “satu-satunya idolanya”, menyatakan bahwa masa-masa gerilya sang jenderal adalah asal esprit de corps TNI. Kampanye gerilya Soedirman lebih ditekankan dalam biografinya karena pada masa ini, angkatan perang memiliki peran yang lebih besar jika dibandingkan dengan pemimpin politik di pengasingan. Sejak 1970-an, semua taruna militer harus menelusuri kembali rute gerilya Soedirman sepanjang 100-kilometer (62 mi) sebelum lulus dari Akademi Militer, bentuk “ziarah” yang bertujuan untuk menanamkan rasa perjuangan. Makam Soedirman juga menjadi tujuan ziarah, baik dari kalangan militer maupun masyarakat umum.Menurut Katharine McGregor dari Universitas Melbourne, militer Indonesia telah memuliakan status Soedirman menjadi semacam orang suci

    Soedirman telah menerima berbagai tanda kehormatan dari pemerintah pusat secara anumerta, termasuk Bintang Sakti, Bintang Gerilya, Bintang Mahaputra Adipurna, Bintang Mahaputra Pratama, Bintang Republik Indonesia Adipurna, dan Bintang Republik Indonesia Adipradana.Pada 10 Desember 1964, Soedirman ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 314 Tahun 1964. Oerip juga dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional oleh keputusan yang sama. Soedirman dipromosikan menjadi Jenderal Besar pada tahun 1997.

    Menurut McGregor, militer memanfaatkan sosok Soedirman sebagai simbol kepemimpinan setelah mereka meraih kekuasaan politik. Gambar Soedirman ditampilkan dalam seri uang kertas rupiah terbitan 1968. juga ditampilkan sebagai karakter utama dalam beberapa film perang, termasuk Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar (1982).

    Terdapat banyak museum yang didedikasikan untuk . Rumah masa kecilnya di Purbalingga saat ini menjadi Museum Soedirman, sedangkan rumah dinasnya di Yogyakarta dijadikan Museum Sasmitaloka Jenderal Soedirman. Rumah kelahirannya di Magelang juga dijadikan Museum Soedirman, yang didirikan pada tanggal 18 Mei 1967 dan menyimpan barang-barang milik sang jenderal.Museum lainnya, termasuk Monumen Yogya Kembali di Yogyakarta dan Museum Satria Mandala di Jakarta, memiliki ruangan khusus yang didedikasikan untuk dirinya. Sejumlah jalan juga dinamai sesuai namanya, termasuk sebuah jalan utama di Jakarta;McGregor menyatakan bahwa hampir setiap kota di Indonesia memiliki jalan bernama Soedirman. Patung dan monumen yang didedikasikan untuk dirinya juga tersebar di seluruh negeri, sebagian besarnya dibangun setelah tahun 1970.Universitas Jenderal Soedirman di Purwokerto, Banyumas, didirikan pada 1963 dan dinamai sesuai namanya

    Dalam budaya populer

    • Dalam film Janur Kuning (1979), Soedirman diperankan oleh Deddy Sutomo.
    • Dalam film Jenderal Soedirman (2015), Soedirman diperankan oleh Adipati Dolken.

     

  • Diponegoro putra raja yang ikut bergerilya

    Diponegoro putra raja yang ikut bergerilya

    Pangeran Diponegoro atau Raden Ontowiryo (11 November 1785 – 8 Januari 1855) adalah putra tertua dari Sultan Hamengkubuwana III dan seorang pahlawan nasional Republik Indonesia yang memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa selama periode tahun 1825 hingga 1830 melawan pemerintah Hindia Belanda.

    Sejarah mencatat Perang Diponegoro atau Perang Jawa dikenal sebagai perang yang menelan korban terbanyak dalam sejarah Indonesia, yakni 8.000 korban serdadu Hindia Belanda, 7.000 pribumi, dan 200 ribu orang Jawa serta kerugian materi 25 juta gulden. Sebagai konversi 1 gulden merupakan uang yang setara dengan satu gram emas sebagai persamaan, dan saat itu total pendapatan pemerintah Hindia Belanda per tahunnya adalah 2 juta gulden maka perang ini menghabiskan 10 tahun APBN Belanda dalam 5 tahun.

    Perang Jawa berakhir setelah para pemimpinnya menyerahkan diri atau ditangkap oleh Belanda. Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang ketika melakukan silaturahmi Idul Fitri atas perintah Jenderal De Kock. Ia kemudian diasingkan ke Manado dan Makassar hingga akhir hayatnya.

    Kehidupan awal

    Diponegoro lahir di Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785 dari ibu yang merupakan seorang selir (garwa ampeyan), bernama R.A. Mangkarawati, dari Pacitan dan ayahnya bernama Gusti Raden Mas Surojo, yang di kemudian hari naik tahta bergelar Hamengkubuwono III. Pangeran Diponegoro sewaktu dilahirkan bernama Bendara Raden Mas Mustahar, kemudian setelah dewasa menjadi Bendara Raden Mas Antawirya

    Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang cerdas, banyak membaca, dan ahli di bidang hukum Islam-Jawa. Dia juga lebih tertarik pada masalah-masalah keagamaan ketimbang masalah pemerintahan keraton dan membaur dengan rakyat. Sang Pangeran juga lebih memilih tinggal di Tegalrejo, berdekatan dengan tempat tinggal eyang buyut putrinya, yakni Gusti Kanjeng Ratu Tegalrejo, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, daripada tinggal di keraton sejak kecil Diponegoro sudah sangat dekat dengan rakyat dan para santri, dalam Babad Diponegoro dijelaskan kalau semasa kecil Diponegoro diajarkan menanam padi dan kegiatan rakyat lainnya oleh neneknya di tegal rejo yang menjadikan Diponegoro muda sangat dekat dengan rakyat dan mengerti penderitaan rakyat jawa di bawah tekanan pemerintah kolonial Hindia Belanda

    pangeran Diponegoro adalah seorang yang menggemari kuda dan saat di Tegalrejo sebelum perang memiliki lebih dari 60 orang Jawa untuk memelihara kudanya. Bak-bak air besar dari tembok untuk memberi minum kudanya masih terlihat sampai kini (2021). Kandang kuda dan instal Pangeran begitu luas sampai Sentot muda, yang datang untuk hidup di Tegalrejo saat berumur 6 tahun setelah kakak perempuannya, Raden Ayu Maduretno menikah dengan Pangeran, lebih mementingkan belajar naik kuda daripada menjadi santri. Saat mulai pecahnya Perang Jawa, kuda kekar hitam tunggangan Diponegoro, Kyai Getayu (Gentayu) dan ketangkasannya di atas pelana dicatat oleh komandan kavaleri Belanda. Saat perang, keahlian Pangeran menunggang kuda sangat membantu dirinya untuk selamat ketika sering bisa menghindari pengejaran di medan yang sulit, terutama waktu menyeberang Kali Progo, dimana Pangeran mengetahui semua area dangkal yang bisa dipakai untuk mengarungi sungai lebar itu tanpa dihanyutkan air.

    Nama dan gelar kepangeranan

    Pangeran Diponegoro lahir dengan nama asli Raden Mas Mustahar. Ia menerima nama dewasa dan gelar Bendara Raden Mas Antawirya pada 3 September 1805 di usia 20 tahun.Pada usia itu pula Diponegoro memulai perjalanan spiritual ke Pantai Selatan. Selama perjalanan itu ia mengganti namanya menjadi Syekh Ngabdurahman yang diambil dari bahasa Arab Shaykh ‘Abd al-Rahim yang kemungkinan diusulkan oleh penasehat spiritualnya di Tegalrejo. Nama samaran ini digunakannya agar tidak dikenali orang dan sebagai tanda bahwa ia ingin menjadi santri

    Setelah ayahnya naik tahta sebagai Hamengkubuwana III, Bendara Raden Mas Antawirya diwisuda sebagai pangeran dengan nama Bendara Pangeran Harya Dipanegara pada Juli 1812. Gelar Pangeran Diponegoro atau Diponegoro ini sebenarnya gelar yang lumrah diberikan kepada pangeran Jawa. Setidaknya salah seorang putra Pakubuwana I yang memberontak pada masa Perang Suksesi Jawa Kedua dan suami kedua dari putri Hamengkubuwana I yang meninggal pada 1787 pernah menyandang gelar tersebut. Gelar ini juga disandang adik Pakubuwana IV yang meninggal pada 1811. Mengingat hanya satu pangeran yang boleh menyandang gelar tertentu pada satu waktu dan gelar tersebut sudah lama tidak dipakai di Kraton Yogya sejak 1787, maka HB III menganugerahkan gelar itu pada anak tertuanya sekaligus putra kesayangannya. Diponegoro sendiri pada akhirnya mewariskan gelar tersebut ke anak sulungnya, Diponegoro II, sewaktu perjalanan ke pengasingan. Diponegoro memberikan analisis terkait makna namanya tersebut kepada pengawalnya di pengasingan, Julius Knoerle

    “‘Dipo’ [dari bahasa Sankrit ‘dipa’] berarti seseorang yang menyebarkan pencerahan atau yang memiliki hidup dan kekuatan […] ‘negoro’ berarti suatu daerah […] maka ‘Diponegoro’ berarti seseorang yang memberi pencerahan, kekuatan dan kemakmuran kepada suatu daerah (negara)” (Knoerle, ‘Journal’, 10).

    — Carey

    Nama Islamnya adalah Abdul Hamid atau Ngabdulkamid. Dalam Babad Dipanegara disebutkan bahwa Diponegoro mendengar suara gaib yang memanggilnya dengan Ngabdulkamit. Nama Ngabdulkamit ini disandang oleh Diponegoro dan digabungkan dengan gelar Sultan Erucokro (Ratu Adil) selama Perang Jawa untuk menampilkan sosok dirinya sebagai Ratu Adil dan pemimpin agama. Gelarnya selama Perang Jawa adalah Sultan Abdul Hamid Erucokro Kabirul Mukminin Sayyidin Paneteg Panatagama Kalifatu Rosulillah ing Tanah Jawa yang berarti Sultan Abdul Hamid (Ngabdulkamit), Ratu Adil (Erucokro), Pemimpin Agama (Sayyidin), Penata Agama Panatagama) dan Khalifah Rasulullah (Kalifatu Rosulillah) di tanah Jawa (ing Tanah Jawa).

    Selama pengasingannya di Manado, Diponegoro ingin dipanggil sebagai “Pangeran Ngabdulkamit”. Dalam refleksi yang ditulis di Makassar, ia menyebut dirinya sebagai ‘fakir’ Ngabdulkamit. Pemilihan nama Ngabdulkamit ini mungkin berhubungan dengan Abdul Hamid I, Sultan Turki Utsmani yang menyatakan diri sebagai ‘khalifah’ atau pemimpin umat Islam di seluruh dunia. Setelah Perang Diponegoro, di mana banyak keluarga dan kerabat Diponegoro yang dicap sebagai pemberontak dan diasingkan oleh pemerintah Belanda, gelar kepangeranan Diponegoro dilarang diberikan kepada seluruh anggota keluarga keraton-keraton Jawa tengah bagian selatan.

    Kehidupan pribadi

     

    Dalam kehidupan sehari-harinya, Pangeran Diponegoro adalah pribadi yang menyukai sirih dan rokok sigaret Jawa yang dilinting khusus dengan tangan, mengoleksi emas, dan berkebun. Bahkan, di tempat persemediannya di Selarejo dan Selarong, kebun yang dimilikinya ditanami bunga, sayur-sayuran, buah-buahan, ikan, kura-kura, burung tekukur, buaya hingga harimau

    Dia juga dikenal sebagai pria yang romantis, Pangeran Diponegoro setidaknya menikah beberapa kali dalam hidupnya. Sang Pangeran pertama kali menikah pada usia 27 tahun dengan Raden Ayu Retno Madubrongto, seorang guru agama dan putri kedua dari Kiai Gede Dadapan. Dari hasil pernikahan ini, Diponegoro memiliki anak laki-laki bernama Putra Diponegoro II.

    Pada 27 Februari 1807, Pangeran Diponegoro kembali menikah untuk kedua kalinya dengan putri dari Raden Tumenggung Natawijaya III, seorang bupati dari Panolan Jipang, Kesultanan Yogyakarta, bernama Raden Ajeng Supadmi, itupun atas permintaan Sultan Hamengkubuwana III.Diponegoro kemudian bercerai tiga tahun setelah pernikahannya tersebut dan dianugerahi seorang anak bernama Pangeran Diponingrat, yang memiliki sifat arogan menurut Putra Diponegoro II.

    Pernikahan ketiga terjadi pada tahun 1808 dengan R.A. Retna Dewati, seorang putri kiai di wilayah selatan Yogyakarta. Istri pertama dan ketiga Pangeran, yakni Madubrongto dan Retna Dewati meninggal ketika Diponegoro masih tinggal di Tegalrejo. 

    Pangeran kembali menikah keempat kalinya pada 28 September 1814 dengan Raden Ayu Maduretno, putri dari Raden Rangga Prawirodirjo III dengan Ratu Maduretna (putri Hamengkubuwana II). Sang istri, Raden Ayu Maduretno merupakan saudara seayah dengan Sentot Prawirodirjo, tetapi lain ibu. Raden Ayu Maduretno diangkat menjadi permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton I pada 18 Februari 1828, ketika Pangeran Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid. Pada Januari 1828, sang Pangeran kembali menikah untuk kelima kalinya dengan Raden Ayu Retnoningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II. Pernikahan keenam dengan Raden Ayu Retnaningsih, putri Raden Tumenggung Sumaprawira, seorang bupati Jipang Kepadhangan; pernikahan kedelapan dengan R.A. Retnakumala, putri Kiai Guru Kasongan.

    Dari hasil beberapa kali pernikahannya tersebut, Pangeran Diponegoro memiliki 11 putra dan 5 orang putri, yang saat ini seluruh keturunannya tersebut hidup tersebar di berbagai penjuru dunia, di antaranya Jawa,Madura, Sulawesi, Maluku, Australia, Serbia, Jerman, Belanda, dan Arab Saudi.

    Pangeran Diponegoro juga dikenal sebagai pribadi yang suka melucu dan bercanda, meski lebih banyak menghabiskan hidup di pengasingan. Terkadang, dia sangat benci dengan komandan tentaranya yang dianggapnya pengecut.

    Pangeran Diponegoro memiliki kemampuan berbahasa Jawa meski ia tak pandai menulis aksara Jawa, sedikit bahasa Melayu, dan sedikit bahasa Belanda. Namun, sebisa mungkin ia menghindari berbicara dalam bahasa Melayu, yang menurutnya seperti ‘basa pitik’ (bahasa ayam) sehingga tak ada satupun pemimpin Jawa yang ingin mendengarnya. Dengan kata lain ia memandang rendah status bahasa Melayu yang saat itu digunakan untuk perdagangan dan komunikasi (lingua franca) antara orang pribumi dan orang Eropa.

    Kehidupan sebagai pangeran

    Meski menjalani sebagian hidupnya di Tegalrejo, Diponegoro tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang pangeran Kesultanan Yogyakarta. Ia tetap menghadiri Grebeg Maulud dan Grebeg Puasa, dua upacara besar dalam tradisi Islam-Jawa.

    Ia dikenal sebagai salah satu penasihat pribadi ayahnya selama ayahnya menjadi Putra Mahkota hingga diangkat sebagai Sultan HB III. HB III mendiskusikan banyak urusan dengan Diponegoro. Salah satunya saat mereka memutuskan mengangkat Danurejo IV untuk menggantikan Danurejo III yang sudah lanjut usia.Pangeran Diponegoro menolak keinginan sang ayah dan Residen Inggris yang bernama John Crawfurd untuk menjadi sultan bahkan sampai dua kali. Padahal, sebagai anak laki-laki tertua ayahnya dan pangeran yang kompeten, Diponegoro layak menduduki posisi sultan. Ia sendiri beralasan bahwa posisi ibunya yang hanya garwa ampeyan (selir), bukan permaisuri, membuat dirinya merasa tidak layak untuk menduduki jabatan tersebut. Selain itu, dia juga tidak mau menjadi sultan karena melihat posisi ayahnya sebagai sultan tetapi kurang independen karena mendapatkan tekanan di sana-sini dari Inggris dan Belanda yang memengaruhi banyak kebijakan keraton.

    Saat HB III wafat, adik laki-laki Diponegoro yang masih berusia 10 tahun diangkat sebagai Hamengkubuwana IV. Diponegoro sangat memperhatikan dan mengawasi pendidikan sultan muda itu. Ia sering datang dari Tegalrejo untuk menceritakan kisah-kisah kepahlawanan ‘Fatih al-Muluk’ (Kemenangan Raja-Raja). Diponegoro juga merekomendasi banyak teks bacaan untuk adiknya. Meski demikian, HB IV bukanlah seseorang yang rajin belajar. Ia lebih suka kesenian dan berkuda ketimbang literatur Jawa

    Perwalian Hamengkubuwana V

    Setelah Hamengkubuwana IV meninggal mendadak pada Desember 1822, ibunda HB IV, Ratu Ageng, dan janda HB IV, Ratu Kencono memohon Pejabat Residen Belanda, De Salis, untuk segera mengukuhkan Putra Mahkota yang baru berusia dua tahun untuk naik tahta sebagai Hamengkubuwana V sekaligus meminta Paku Alam I tidak lagi menjadi wali raja.

    Setelah mendapat dukungan dari Gubernur Jenderal van der Capellen, De Salis merekomendasikan dewan perwalian yang berisi empat orang, yakni Ratu Ageng, Ratu Kencono, Pangeran Diponegoro, dan Pangeran Mangkubumi. Ratu Ageng dan Ratu Kencono bertanggung jawab untuk mengasuh sultan. Sementara dua pangeran ditunjuk untuk pengelolaan keraton hingga sultan cukup umur. Dua pangeran wali juga menerima pembayaran pajak pasar dan pajak gerbang cukai senilai 100 ribu dolar Spanyol setiap tahunnya secara langsung tanpa melalui Patih Danurejo IV. Patih hanya diperbolehkan mengendalikan pemerintahan jika kedua pangeran itu lalai dalam tugasnya

    Tak lama setelah HB V diangkat, terjadi penghapusan sewa tanah oleh orang Eropa sehingga keraton sebagai pemilik tanah harus memberikan ganti rugi kepada para penyewa. Diponegoro dan Mangkubumi yang mengemban tugas mengelola keuangan keraton bertindak atas nama sultan untuk bernegosiasi terkait skema ganti rugi. Resident Nahuys meminta kompensasi yang sangat tinggi yang ditolak oleh kedua pangeran itu sehingga akhirnya menawarkan harga 26 ribu dolar Spanyol. Ratu Ageng memerintahkan Danurejo IV untuk menerima tawaran itu tanpa persetujuan Diponegoro dan Mangkubumi. Kompensasi yang sangat besar itu berimbas pada keuangan keraton yang menipis hingga keraton perlu meminjam uang ke Kapitan Cina dan Diponegoro dipaksa menyetujuinya. Dalam banyak urusan keraton, termasuk urusan keuangan, Ratu Ageng dan Danurejo IV cenderung mengikuti permintaan Belanda karena takut terjadi apa-apa pada HB V yang masih anak-anak. Sementara Diponegoro dipaksa memberi cap persetujuan saja dan semua hal penting diputuskan tanpa kehadirannya. Pangeran Diponegoro tidak menyetujui cara perwalian seperti itu, sehingga dia melakukan protes. Pada akhirnya, Diponegoro dan Mangkubumi memilih mundur sebagai wali karena tidak setuju dengan pengelolaan keuangan yang merugikan keraton dan hanya menguntungkan Belanda dan kroni-kroninya, termasuk Danurejo IV. Urusan-urusan dalam keraton kemudian diputuskan oleh Residen Smissaert dan Asisten Residen Chevallier, Ratu Ageng, Danurejo IV, komandan pengawal sultan Wironegoro, dan penerjemah Karesidenan Johannes Godlieb Dietreé

    Perang Diponegoro (1825–1830)

    Perang Diponegoro atau Perang Jawa diawali dari keputusan dan tindakan Hindia Belanda yang memasang patok-patok di atas lahan milik Diponegoro di Desa Tegalrejo. Tindakan tersebut ditambah beberapa kelakuan Hindia Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan eksploitasi berlebihan terhadap rakyat dengan pajak tinggi, membuat Pangeran Diponegoro semakin muak hingga mencetuskan sikap perlawanan sang Pangeran.

    Di beberapa literatur yang ditulis oleh Hindia Belanda, menurut mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Profesor Wardiman Djojonegoro, terdapat pembelokan sejarah penyebab perlawanan Pangeran Diponegoro karena sakit hati terhadap pemerintahan Hindia Belanda dan keraton, yang menolaknya menjadi raja. Padahal, perlawanan yang dilakukan disebabkan sang pangeran ingin melepaskan penderitaan rakyat miskin dari sistem pajak Hindia Belanda dan membebaskan istana dari madat.

    Keputusan dan sikap Pangeran Diponegoro yang menentang Hindia Belanda secara terbuka kemudian mendapat dukungan dan simpati dari rakyat. Atas saran dari sang paman, yakni GPH Mangkubumi, Pangeran Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo dan membuat markas di Gua Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat “perang sabil” yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu.

    Medan pertempuran Perang Diponegoro mencakup Yogyakarta, Kedu, Bagelen, Surakarta, dan beberapa daerah seperti Banyumas, Wonosobo, Banjarnegara, Weleri, Pekalongan, Tegal, Semarang, Demak, Kudus, Purwodadi, Parakan, Magelang, Madiun, Pacitan, Kediri, Bojonegoro, Tuban, dan Surabaya

    Sumpah Ati Rata

    Sebelum dimulainya perang, Pangeran Dipanegara mendapatkan dukungan dari Sunan Pakubuwana VI (PB VI)/ R.M. Sapardan, dan dibantu oleh Tumenggung Prawirodigdaya/ R.M. Panji Yudha Prawira bupati Gagatan saat itu. Tanggal 23 Mei 1823, Pangeran Dipanegara menggalang kekuatan dengan para alim ulama dan tokoh-tokoh yang berpengaruh di wilayah Mataram. Orang pertama yang dikunjungi adalah Kyai Abdan dan Kh Anom di Bayat, Klaten, selanjutnya bersama Pangeran Mangkubumi menemui Kyai Maja, kiai kepercayaan Pakubuwana IV. Kemudian dengan diantar Kyai Maja, Pangeran Dipanegara menemui Tumenggung Prawirodigdaya di Gagatan. Tumenggung Gagatan adalah kepercayaan Susuhunan Pakubuwono VI. Pada tahun 1824, atas saran Kyai Maja dan Tumenggung Prawirodigdaya, Pangeran Diponegoro menemui Susuhunan Pakubuwana VI. Ternyata Raja Surakarta ini, sangat mendukung perjuangan pamannya. Ia tidak hanya memberi dukungan dalam bentuk dana perang, tapi juga pasukan-pasukan Keraton dan para Senopati terpilih disediakan.Dukungan tersebut dideklarasikan dalam Sumpah Ati Rata (Sumpah Hati Rata) pada Rabu Wage 17 Pasal 1239 H/ 1752 J (5 Mei 1825), bertempat di tempat yang saat ini masuk ke Dk. Gagatan (Ketoyan, Wonosegoro, Boyolali). Ketiganya adalah tokoh penting (tritunggal) di balik siasat Perang Diponegoro. Tempat dilakukannya Sumpah Adirata ini saat ini dinamakan Pesanggrahan Daerah. Isi Sumpah Atirata adalah: Ha. Setya Bekti Ing Gusti Hangayomi Sepadaning Urip Rila Lega Ing Pati. Na. Hamikukuhi Tan Kena Hama Mbuang Tilas Tan Gawe Wisuna. Ca. Tan Ngowahi Naluri Tanah Jawa Dadi Raharja

    Dukungan Sunan Pakubuwana VI[

    Perjuangan Pangeran Diponegoro juga didukung oleh Sunan Pakubuwana VI (PB VI) dan Sunan Pakubuwana VI mendukung peperangan dengan menyediakan logistik dan persenjataan, yang diserahkan dengan menyamar sedang bepergian untuk bertapa di berbagai tempat (sehingga dikenal sebagai Pangeran Bangun Tapa), di antaranya di Gua Raja di lereng atas Gunung Merbabu yang masuk wilayah Sesela (Sesela, nama kuno wilayah ini yang muncul di kumpulan Naskah Merapi-Merbabu, salah satunya Gita Sinangsaya) dan di Alas Krendhawahana. Pertemuan-pertemuan rahasia tersebut untuk membicarakan situasi terkini sekaligus membahas strategi perlawanan terhadap Belanda. Usai ditangkap dan diasingkannya Pangeran Diponegoro, Belanda menangkap Mas Pajangswara juru tulis keraton yang juga orang kepercayaan Pakubuwana VI (ayahanda pujangga kenamaan Ranggawarsita), yang kemudian disiksa dan dibunuh karena tidak mau mengaku rahasia keterlibatan Pakubuwana VI dengan Pangeran Dipanegara. Meski tidak mengakui, Belanda memfitnah bahwa Mas Pajangswara membongkar rahasia tersebut, dan dijadikan alasan untuk menangkap Pakubuwana VI yang kemudian dibuang ke Ambon pada 8 Juni 1830 dan wafat pada 2 Juni 1849

    Tumenggung Prawirodigdaya

    Tumenggung Prawirodigdaya, dengan nama kecil Yudha Prawira (Yudo Prawiro), adalah cucu Ngabehi Prawirasakti (Adimenggala) dari Kadipaten Gagatan (saat ini masuk di wilayah Kecamatan Wonosegoro, Boyolali, Jawa Tengah), putra Raden Surataruna III. Ibunya, Raden Ayu Surataruna adalah putri Adipati Natakusuma (Pangeran Juru), patih kerajaan Surakarta yang dibuang Belanda ke Ceylon. Sejak kecil Yudha diasuh oleh kakeknya, yakni Ngabehi Prawiro Sakti. Setelah berusia tiga belas tahun dia dikirim ke pondok pesantren Petingan di utara Yogyakarta, menjadi murid Syekh Kaliko Jipang (Syekh Kholil dari Jipang, Penghulu Besar Keraton). Ngabehi Prawiro Sakti dan Syekh Kalika merupakan orang kepercayaan Pangeran Mangkubumi. Di pondok pesantren ini, bertemu dengan Raden Mas Antawirya (Pangeran Dipanegara) yang saat itu berumur delapan tahun (ketika Syekh Kalika meninggal tahun 1798, Antawirya dikirim ke pondok pesantren Mlangi asuhan Kyai Taptajani). Sebagai saudara seperguruan, Antawirya lebih menguasai ilmu kepemimpinan, ilmu hukum, tarikh Islam dan filsafat, sedangkan Yudha menguasai pengetahuan Islam dan puncak ilmu kesaktian, yang kemudian menjadi tambahan bekalnya saat menjadi bupati pamajikan (wilayah tanah raja yang menghasilkan pajak) di Gagatan bergelar R.T. Prawirodigdaya.Pada masa Pakubuwana VI berkuasa, wilayah Gagatan meliputi Karanggede, Klego, Wonosegoro, hingga Juwangi. Menjelang Perang Jawa, Tumenggung Prawirodigdaya mempersiapkan pertemuan Pangeran Dipanegara bersama Pakubuwana VI melakukan Sumpah Ati Rata. Dalam Perang Jawa, Tumenggung Prawirodigdaya gugur dalam peperangan, dan dimakamkan di tempat pemakaman gurunya, Syekh Kalika, di Blunyah Gede di utara Yogyakarta

    Para panglima Diponegoro

    beberapa tokoh kharismatik yang turut bergabung dengan Pangeran Diponegoro adalah Kiai Madja, Pakubuwana VI, dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya.. Selain itu, ada beberapa ulama pendukung, yakni Kiai Imam Rofi’i (Bagelen), Kyai Imam Nawawi (Ngloning Purwokerto), Kyai Hasan Bashori (Banyumas), dan kiai-kiai lainnya

    Kyai Maja

    Kyai Maja IV (Kyai Mojo) memiliki nama kecil Muslim Mochammad Khalifah, merupakan buyut Kyai Mojo I/ RT Citrosomo (1788-1820), cucu Kyai Mojo II, putra Kyai Mojo III. Kyai Maja III yang dikenal sebagai Kyai Baderan I memiliki nama Iman Abdul Arif/ Ngabdul Ngarep mendapat anugerah wilayah Maja (Dk. Mojowetan, Desa Tegalrejo, Kecamatan Sawit, Boyolali) dan Baderan (saat ini masuk wilayah Sidowayah, Polanharjo, Klaten) yang saat itu masuk wilayah Pajang, bagian dari Kasunanan Surakarta. sebagai tanah perdikan dari Pakubuwana IV. Muslim Mochammad Khalifah yang kelahiran Maja meneruskan tugas ayahnya sebagai guru agama di pondok pesantren Maja, dan banyak putra dan putri dari Keraton Surakarta belajar di pesantrennya. Di kemudian hari, beliau terkenal sebagai Kyai Maja IV. Ibu Kyai Maja, yakni R.A Mursilah, adalah saudara perempuan Sultan Hamengkubuwana III. Jalinan persaudaraan dirinya dengan Pangeran Dipanegara kian erat setelah Kyai Maja menikah dengan janda Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman dari Dipanegara. Tak heran, Dipanegara memanggil Kyai Maja dengan sebutan “paman”, meski relasi keduanya adalah saudara sepupu.

    Kyai Maja turut bergabung sejak hari pertama pasukan Dipanegara tiba di Gua Selarong. Pengaruh dukungan Kyai Maja terhadap perjuangan Diponegoro begitu kuat karena ia memiliki banyak pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Kyai Maja yang dikenal sebagai ulama penegak ajaran Islam ini bercita-cita, tanah Jawa dipimpin oleh pemimpin yang mendasarkan hukumnya pada syariat Islam. Semangat memerangi Belanda yang merupakan musuh Islam dijadikan taktik Perang Suci. Oleh sebab itu, kekuatan Diponegoro kian mendapat dukungan terutama dari tokoh-tokoh agama yang berafiliasi dengan Kiai Madja. Menurut Peter Carey (2016) dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 disebutkan bahwa sebanyak 112 kiai, 31 haji, serta 15 syekh dan puluhan penghulu berhasil diajak bergabung.

    Pada tanggal 12 November 1828, Kyai Maja dan para pengikutnya disergap di daerah Mlangi, Sleman, dekat Sungai Bedog, kemudian dibawa ke Salatiga. Dalam penahanannya, Kyai Maja meminta agar para pengikutnya dibebaskan dan menerima apapun keputusan Belanda terhadap dirinya. Belanda mengabulkan permintaan tersebut dan hanya menyisakan Kyai Maja beserta orang-orang dekatnya dan beberapa tokoh berpengaruh, sementara sebagian besar pengikutnya dilepaskan. Tanggal 17 November 1828, Kyai Mojo beserta orang-orang yang masih menyertainya dikirim ke Batavia dan diputuskan akan diasingkan ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. Di tanah pembuangan, Kyai Maja terus berdakwah hingga wafat pada 20 Desember 1849 di usianya yang ke 57 tahun. Perang Jawa sendiri berakhir dua tahun setelah tidak adanya kubu Kyai Maja dari pasukan Diponegoro

    Sentot Prawirodirdjo

    Pendukung lainnya adalah Sentot Alibasah Abdulmustopo Prawirodirdjo atau dikenal dengan Sentot Ali Pasha/Sentot Ali Basyah, putra dari Ronggo Prawirodirjo III yang menjabat sebagai Bupati Monconegoro Timur, ipar Sultan Hamengkubuwono IV, yang terbunuh oleh Hindia Belanda pada zaman pemerintahan Gubernur Daendels

    Menurut sejarawan Soekanto, Sentot bergabung pada 28 Juli 1826, sedangkan menurut Peter Carey, Sentot bergabung ketika berumur 17 tahun pada Agustus 1825 di Selarong. Pada Agustus 1828, salah satu panglima Diponegoro bernama Gusti Basah, gugur dan sebelum meninggal, ia meminta sang Pangeran menunjuk Sentot sebagai penggantinya. Setelah diangkat menjadi senopati, Sentot berhasil memukul mundur tentara Sollewijn di Progo Timur pada 5 September 1828. Beberapa minggu kemudian, Sentot juga berhasil memenangkan peperangan di Bagelen dan Banyumas. Strategi perang yang digunakan Sentot adalah penggerebekan dengan menggempur sekeras-kerasnya dengan pasukan penuh. Sentot juga dikenal pandai dalam perang gerilya

    Gelar “Basya” atau “Pasha” diilhami oleh sosok Usamah bin Zaid, panglima Turki yang memimpin perang melawan bangsa Romawi dalam usia 17 tahun juga. Sentot Alibasya juga dijuluki “Napoleon Jawa”. Sentot memimpin pasukan sebanyak 1.000 orang dengan menyandang senjata dan mengenakan jubah dan sorban. Struktur pasukannya pun mirip seperti pasukan Turki Utsmani.

    Sentot juga berhasil memenangkan peperangan di Kroya dan merampas 400 pucuk senjata, meriam berikut mesinnya serta menawan ratusan serdadu Hindia Belanda.

    Untuk menangkap Sentot, Jenderal De Kock membujuk bupati Madiun, Prawirodiningrat, yang merupakan kakaknya, agar bersedia berunding dengan Hindia Belanda. Atas bujukan kakaknya tersebut, Sentot kemudian menerima tawaran Belanda untuk datang ke Yogyakarta dan disambut dengan upacara militer seperti seorang jenderal pada 24 Oktober 1829 hingga akhirnya disergap dan ditangkap.

    Setelah menyerah dalam Perang Diponegoro, Sentot sempat dikirim ke Salatiga, Batavia, hingga akhirnya Hindia Belanda mengirimnya ke Sumatera Barat untuk membasmi pemberontakan ulama dalam Perang Padri. Namun ini hanya strategi Sentot agar berhasil mendapatkan persenjataan untuk membantu perjuangan Tuanku Imam Bonjol. Sentot akhirnya ditahan Hindia Belanda dan dikirim kembali ke Batavia pada Maret 1833 dan ke Bengkulu pada Agustus 1833 sebelum akhirnya wafat dalam usia 47 tahun dalam pengasingan di Bengkulu pada 17 April 1855

    Kerta Pengalasan

    Kerta Pengalasan, lahir tahun 1795 dan wafat sekitar tahun 1866, adalah salah satu senopati Pangeran Diponegoro. Dia dipercaya oleh Pangeran Diponegoro untuk memperkuat sistem pertahanan pusat negara di Plered. Sebelum perang, Kerta Pengalasan adalah kepala desa di Desa Tanjung, Nanggulan, Kulon Progo. Dia diperintah oleh Pangeran Blitar I, salah satu putra Sultan Hamengkubuwono I untuk mendukung Pangeran Diponegoro

    Para pendamping

    Selain para panglima perang, Pangeran Diponegoro juga didampingi oleh para pendamping yang sering disebut sebagai panakawan (pengiring), yakni Joyo Suroto (Roto), Banteng Wareng, Sahiman (Rujakbeling), Kasimun (Wangsadikrama), dan Teplak (Rujak Gadhung). Mereka para punakawan disebut juga sebagai bocah becik (anak baik) dan berperan bergantian sebagai abdi pengiring, guru, penasihat, peracik obat, pembanyol, hingga penafsir mimpi

    Djojosuroto

    Joyosuroto (dipanggil Roto) adalah panakawan yang selalu ada di setiap perjalanan sang Pangeran sejak awal perjuangan hingga perjalanan sebagai tahanan menuju pengasingan. Roto bahkan ikut dalam kereta kuda residen Kedu menuju Semarang dan bertugas membawa kotak sirih. Roto juga menjaga kamar Pangeran Diponegoro dengan tidur di depan pintu kamarnya ketika sang pangeran telah tiba dan menginap selama seminggu di Wisma Residen Bojong, Semarang. Dia menyajikan roti putih yang dipanggang setiap pagi berikut kentang walanda

    Sebelum bergabung dengan Pangeran Diponegoro, Roto adalah hanya seorang warga desa sekitar Tegalrejo. Setelah perang dimulai, Roto ikut bersama pasukan Diponegoro menuju perbukitan di Selarong pada tahun 1825 dan tinggal di Guwo Secang yang memiliki dapur. Di tempat ini, sang Pangeran kian mendalami ilmu mistik dan agamanya dengan tinggal di gua-gua dan berziarah.

    Ketika perang berkecamuk dan sang pangeran menerapkan sistem pemerintahan keraton di Selarong (Oktober 1825) dan di Kemusuk, Kulon Progo (November 1825-Agustus 1826), para punakawan tidak lagi menjadi satu-satunya sahabat karib sang Pangeran. Meski demikian, para punakawan selalu mendampingi setiap langkah sang Pangeran. Bahkan, Roto bersama Banteng Wareng, menemani Pangeran Diponegoro ke hutan-hutan di sebelah barat Bagelen ketika meloloskan diri dari kejaran pasukan AV Michiels. Saat itu, kondisi Diponegoro terkena sakit malaria, terpaksa berpindah-pindah dari gubug petani satu ke gubug lainnya dan Roto menghibur sang Pangeran yang sedang sakit dengan banyolan-banyolan yang lucu.

    Sosok Roto hadir dalam lukisan Raden Saleh berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro. Dia dilukiskan sedang berdiri di pilar bagian barat, sosoknya tersembunyi di belakang seorang pasukan Hindia Belanda yang tengah memegang senjata, tanpa mengenakan sorban, dengan wajah tengah memandang ke arah tuannya. Roto juga ikut serta ketika Diponegoro diasingkan ke Manado dan tinggal bersama keluarganya selama tiga tahun sebelum pada tahun 1839, pemerintah Hindia Belanda mengirimnya ke Tondano dan bergabung dengan Kiai Modjo

    Banthengwareng

    Banteng Wareng yang hidup antara tahun 1810-1858 disebut-sebut sebagai panakawan yang paling setia. Banteng Wareng disebut sebagai punakawan yang paling setia, karena dia ikut hingga Pangeran Diponegoro diasingkan ke Makassar.

    Namanya tertulis dalam Babad Dipanagara dengan julukan lare bajang, anak muda yang nakal dan cebol. Tubuh jebolnya juga tergambar dalam lukisan koleksi Snouck Hurgronje yang tersimpan di Universitas Leiden, yang menggambarkan Banteng Wareng sebagai sosok bertubuh cebol, buncit dan tak berbusana. Di lukisan tersebut, Banteng Wareng berdiri di dekat Pangeran Diponegoro dan membantu sang Pangeran mengajarkan ilmu mistik Islam kepada putranya, ketika berada dalam pengasingan tahun 1835-1855.

    Roto bersama Banteng Wareng, menemani Pangeran Diponegoro ke hutan-hutan di sebelah barat Bagelen ketika meloloskan diri dari kejaran pasukan AV Michiels. Saat itu, kondisi Diponegoro terkena sakit malaria, terpaksa berpindah-pindah dari gubug petani satu ke gubug lainnya dan Roto menghibur sang Pangeran yang sedang sakit dengan banyolan-banyolan yang lucu.

    Sejarawan Belanda, George Nyples dalam bukunya yang berjudul De Oorlog in Midden-Java van 1825 tot 1830, menuliskan bahwa Diponegoro ditemani dua pengiringnya dalam kondisi kekurangan, dengan luka di kakinya dan sakit malaria, harus berpindah-pindah terkadang tidak memiliki tempat berteduh dan cukup makanan. Pangeran Diponegoro bersembunyi selama tiga bulan antara pertengahan November 1829 hingga pertengahan Februari 1830

    Strategi perang sang Pangeran

    Pasukan Pangeran Diponegoro dibagi menjadi beberapa batalyon yang diberi nama berbeda-beda, seperti Turki, Arkiya, dan lain sebagainya. Setiap batalyon dibekali dengan senjata api dan peluru-peluru yang dibuat di hutan.Pangeran Diponegoro bersama para panglimanya menerapkan strategi perang gerilya yang selalu berpindah-pindah. Markasnya di Selarong sering kali kosong ketika pasukan Belanda menyerang lokasi tersebut. Sang Pangeran dan pasukannya baru kembali ke Selarong setelah pasukan Belanda pergi meninggalkan Selarong.

    Pusat pertahanan pasukan Diponegoro kemudian dipindahkan dari Semarang ke Daksa. Sang Pangeran juga dinobatkan menjadi kepala negara bergelar “Sultan Abdulhamid Herucakra Amirul Mukminin Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa”, dengan pusat negara berada di Plered, dengan pertahanan yang kuat. Sistem pertahanan daerah Plered dipercayakan penanganannya kepada Kerta Pengalasan.

    Kuatnya pertahanan di Plered dibuktikan dengan gagalnya serangan besar-besaran pasukan Hindia Belanda pada tanggal 9 Juni 1826. Setelah penyerangan tersebut, sang Pangeran mengganti posisi Kerta Pengalasan dengan Ali Basya Prawiradirja dan Prawirakusumah, keduanya masih berusia 16 tahun.Setelah itu, masih di bulan dan tahun yang sama, pasukan Hindia Belanda menyerang markas Diponegoro di Daksa, tetapi sudah dikosongkan. Ketika pasukan Hindia Belanda kembali dari Daksa menuju Yogyakarta, pasukan Diponegoro menyerang dan membinasakan seluruh pasukan dan menghilang dari Daksa.

    Pada Oktober 1826, pasukan Diponegoro menyerang pasukan Hindia Belanda di Gawok dan mendapat kemenangan. Namun, sang Pangeran terluka dan terpaksa harus ditandu ke lereng Gunung Merapi. Pada 17 November 1826, sang Pangeran bertolak ke Pengasih (sebelah barat Yogyakarta) untuk menyerang pasukan Hindia Belanda. Di lokasi ini, sang Pangeran mendirikan keraton di Sambirata sebagai pusat negara baru. Pasukan Belanda sempat menyerang Sambirata, tetapi Diponegoro berhasil meloloskan diri. Perang sempat berhenti akibat gencatan senjata pada 10 Oktober 1827, namun perundingan tidak menemui kesepakatan apa pun.

    Berkat dukungan dan simpatik rakyat, pasukan Pangeran Diponegoro dapat dengan mudah memindah-memindahkan markasnya dan mendapat pasokan logistik. Selain itu, pasukan Diponegoro dikenal sangat cepat dan lincah berkat semangat perang Sabilillah. Akibatnya, Hindia Belanda banyak mengirimkan jenderal, kolonel dan mayor ke Pulau Jawa, seperti Jenderal De Kock, Jenderal Van Geen, Jenderal Holsman, dan Jenderal Bischof.

    Para senopati menggunakan strategi dengan menjadikan kondisi alam sebagai “senjata” dan tameng yang tak terkalahkan. Hal ini dilakukan dengan melakukan serangan-serangan besar-besaran pada saat bulan-bulan penghujan. Hujan tropis yang deras tersebut seringkali membuat gerak dari pasukan Hindia Belanda terhambat, sehingga para gubernur Hindia Belanda akan melakukan berbagai usaha untuk melakukan gencatan senjata dan berunding. Ancaman lainnya datang dari penyakit malaria, disentri, dan sebagainya, yang menjadi “musuh yang tak tampak” bagi pasukan Hindia Belanda sehingga sering kali melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda lantas memanfaatkan situasi dengan mengkonsolidasikan pasukannya dan menyebarkan mata-mata serta provokator di desa-desa dan kota kemudian menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pangeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando pangeran Diponegoro. Namun, pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.

    Taktik Hindia Belanda

    Bagi Hindia Belanda, Perang Diponegoro adalah perang terbuka dengan mengerahkan berbagai jenis pasukan mulai dari pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri, yang sejak Perang Napoleon selalu menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal. Front pertempuran terjadi di berbagai desa dan kota di seluruh Jawa dan berlangsung sangat sengit. Penguasaan suatu wilayah selalu silih berganti. Jika ada suatu wilayah dikuasai pasukan Hindia Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi, demikian pula sebaliknya.

    Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama, karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.

    Pada puncak peperangan tahun 1827, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu,suatu hal yang belum pernah ada suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur, tetapi dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerilla warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan pengadangan. Ini bukan sebuah perang suku, melainkan suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktikkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psywar) melalui intonasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran, dan kegiatan telik sandi (spionase) dengan kedua pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.

    Berbagai cara licik juga terus dilakukan Hindia Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan dengan mengeluarkan maklumat pada 21 September 1829 bahwa siapapun yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro baik hidup atau mati, akan diberi hadiah sebesar 50.000 Gulden, beserta tanah dan penghormatan.

    Perubahan strategi Hindia Belanda terjadi ketika Gubernur Jenderal De Kock diangkat menjadi panglima seluruh Hindia Belanda tahun 1827. Untuk membatasi ruang gerak dan strategi gerilya Pangeran Diponegoro, De Kock menggunakan strategi perbentengan (Benteng Stelsel). Benteng-benteng dengan kawat berduri didirikan begitu pasukan Hindia Belanda berhasil merebut daerah kekuasaan pasukan Diponegoro. Tujuannya agar pasukan Diponegoro tidak dapat kembali dan mempersempit ruang geraknya. Jarak antar bentang berdekatan dan dihubungkan dengan pasukan gerak cepat.

    Perlawanan Pangeran Diponegoro semakin melemah sejak akhir tahun 1828, setelah Kiai Madja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap pada 12 Oktober 1828, menyusul kemudian Sentot Prawirodirdjo dan pasukannya pada 16 Oktober 1828, karena kesulitan biaya, dan tertangkapnya istri sang Pangeran yakni R.A Ratnaningsih dan putranya pada 14 Oktober 1829

    Negosiasi dan pengkhianatan

    Pada 16 Februari 1830, Diponegoro setuju untuk bertemu dengan utusan Jenderal De Kock, yakni Kolonel Jan Baptist Clereens dan mengutus Kiai Pekih Ibrahim dan Haji Badaruddin agar Clereens bisa datang ke Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Kabupaten Purworejo), di hulu sungai Cingcingguling. Pertemuan pada 20 Februari 1830 tersebut tidak menghasilkan kesepakatan, meski berjalan lancar dan akrab. Akhirnya, Diponegoro ingin bertemu langsung dengan De Kock yang ketika itu berada di Batavia dan bermaksud menunggunya di Bagelen Barat. Namun, Clereens menyarankan agar Diponegoro menunggu De Kock di Menoreh dan sang Pangeran tiba pada 21 Februari 1830 dan dielu-elukan oleh 700 pengikutnya.

    Ketika itu, bulan Ramadhan berlangsung mulai 25 Februari hingga 27 Maret 1830 dan Pangeran Diponegoro menegaskan kepada De Kock bahwa selama pertemuan di bulan puasa tidak akan ada diskusi yang serius dan hanya ramah tamah biasa hingga bulan Ramadhan berakhir. De Kock menyetujuinya. Selama tinggal di Magelang, seluruh pasukan dan pengikut Pangeran Diponegoro ditandai dengan sorban dan jubah hitam yang diberikan oleh Clereens.

    Sikap manis ditunjukkan De Kock kepada Pangeran Diponegoro dengan memberikan hadiah seekor kuda berwarna abu-abu dan uang f 10.000 yang dicicil dua kali untuk membiayai para pengikutnya selama bulan puasa. Bahkan, De Kock mengizinkan istri sang Pangeran, ibunya, kedua putra dan putrinya yang masih kecil, yakni Raden Mas Joned dan Raden Mas Raib, putra tertuanya bersama panglima Diponegoro di Kedu Utara, Basah Imam Musbah, hadir dan bergabung di Magelang.

    Dalam pikiran De Kock, kedatangan Diponegoro dan pengikutnya secara sukarela menunjukkan Pangeran Diponegoro telah kalah secara de facto. Sementara itu, selama bulan puasa, De Kock bertemu dengan sang Pangeran sebanyak tiga kali, yakni sebanyak dua kali saat jalan subuh di taman karesidenan dan satu kali ketika De Kock datang sendiri ke pesanggarahan sang Pangeran. Namun, mata-mata yang ditanamkan Residen Valck di kesatuan Diponegoro, Tumenggung Mangunkusumo, melaporkan bahwa sang Pangeran tetap bersikeras mendapatkan pengakuan Hindia Belanda sebagai sultan Jawa bagian selatan ataupun sebagai Ratu paneteg panatagama wonten ing Tanah Jawa sedaya (Raja dan pengatur agama di seluruh tanah Jawa atau kepala agama Islam). Setelah itu, pada 25 Maret 1830, De Kock memberi perintah rahasia kepada dua komandannya, yakni Letnan Kolonel Louis du Perron dan Mayor A.V Michels, mempersiapkan perlengkapan militer untuk mengamankan penangkapan sang Pangeran.

    Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, bertepatan dengan Hari Idul Fitri, Jenderal De Kock bertemu dengan Pangeran Diponegoro. Jenderal De Kock didampingi Residen Kedu Valck, Letkol Roest (perwira De Kock), Mayor F.V.H.A de Stuers, dan penerjemah bahasa Jawa, Kapten J.J Roefs. Pangeran Diponegoro didampingi ketiga putranya, penasihat agama, dua punakawan, dan panglima Basah Kertanegara. De Kock memulai pertemuan dengan meminta agar Pangeran Diponegoro tidak usah kembali ke Metesih. Sang Pangeran merasa heran dan mempertanyakan kembali kepada De Kock kenapa tidak diizinkan kembali, padahal dia hanya bersilaturahmi menjelang akhir bulan puasa. De Kock langsung bicara akan menahan Diponegoro dan suasana pun langsung berubah tegang.

    Diponegoro langsung meresponsnya dengan menanyakan ada masalah apa sehingga dirinya harus ditahan. Dia merasa tidak bersalah dan tidak menaruh benci kepada siapapun. Kertanegara menyela pembicaraan dan meminta agar masalah politik bisa diselesaikan lain waktu. De Kock langsung memotong perbicaraan dan menegaskan dengan nada tinggi, dengan mengatakan terserah Pangeran setuju atau tidak, dia akan menuntaskan masalah politik hari itu juga. Diponegoro langsung berbicara dan menuding Jenderal De Kock sangat dan hatinya busuk karena keputusannya terburu-buru dan tidak pernah dibicarakan sebelumnya selama bulan puasa. Sang Pangeran langsung berbicara bahwa dia tidak memiliki keinginan lain, kecuali pemerintah Hindia Belanda mengakuinya sebagai kepada agama Islam di Jawa dan gelar sultan yang disandangnya.

    Jenderal De Kock kemudian memerintahkan Letkol Roest agar Du Perron menyiapkan pasukan. Diponegoro kemudian berbicara dengan situasi seperti itu dan karena sifat jahatmu, dirinya tidak takut mati. Dia tidak takut dibunuh dan tidak bermaksud menghindarinya. De Kock terhenyak mendengar sikap keras Pangeran Diponegoro dan dengan suara lirih berbicara bahwa dirinya tidak akan membunuh sang Pangeran, tetapi juga tidak akan memenuhi keinginan sang Pangeran. Sempat terbersit dalam benak Diponegoro untuk menghujam keris ke tubuh De Kock, namun niatnya diurungkan karena akan merendahkan martabatnya. Setelah meminum teh dan menghampiri pengikutnya, sang Pangeran beranjak keluar dan Pangeran Diponegoro pun berhasil ditangkap.

    Sewaktu di Ungaran dalam perjalanannya ke Batavia menuju tempat pengasingan dengan dikawal oleh perwira Belanda, Pangeran Diponegoro berbicara cukup panjang dengan Kapten Roeps (dalam bahasa Jawa) tentang berbagai hal mengenai negosiasi yang baru terjadi dan mengatakan bahwa mendapat kesan kalau dalam negosiasi itu dia tidak dapat mencapai kesepakatan dengan Jenderal De Kock, mereka akan mengizinkan dia kembali ke pegunungan (Banyumas) tanpa dihalang-halangi. Ini merujuk pada janji yang konon diberikan secara lisan kepada Pangeran Diponegoro dalam negosiasi damai awal di Remokamal (Banyumas) pada 16 Februari 1830 oleh Kolonel Jan-Baptist Cleerens, perwira Belanda yang bertanggung jawab atas negosiasi tersebut. Cleerens seakan berjanji kepada Pangeran Diponegoro bahwa Sang Pangeran akan diizinkan untuk kembali ke Pegunungan Banyumas seandainya negosiasi dengan Jenderal De Kock di Magelang tidak membuahkan hasil yang memuaskan baginya. Jaminan ini diabaikan oleh Jenderal De Kock ketika dia menahan Pangeran Diponegoro, tetapi Pangeran Diponegoro kemudian secara tidak langsung mengingatkan Cleerens melalui sepucuk surat yang dikirimkannya dari Makasar pada 14 Desember 1835.

    Sang Pangeran bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Setelah ditangkap di Magelang, Pangeran Diponegoro ditempatkan ke Gedung Karesidenan Semarang, di Ungaran, lalu dibawa ke Batavia pada 5 April 1830 dengan menggunakan kapal Pollux. Pangeran Diponegoro tiba di Batavia pada 11 April 1830 dan ditahan di Stadhuis (Gedung Museum Fatahillah). Selanjutnya pada 30 April 1830, Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado bersama istri keenamnya bersama Tumenggung Dipasena dan istrinya serta para pengikut lainnya seperti Kertalaksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno. Mereka tiba di Manado pada 3 Mei 1830 dan ditawan di Benteng Nieuw Amsterdam. Tahun 1834, Diponegoro dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

    Pangeran Hendrik yang ayahnya kelak menjadi Raja Willem II (1840-49) menulis dalam buku hariannya saat bertemu dengan Pangeran Diponegoro saat dalam pengasingannya di Benteng Rotterdam, pada 7 Maret 1837. Didalamnya dia mengkritik cara pihak Belanda, khususnya Jenderal De Kock, memperlakukan Diponegoro karena memiliki dampak politik yang sangat buruk di daerah Hindia Belanda:

    Jika suatu hari kita menghadapi sebuah kondisi yang tidak diharapkan, yaitu terjadi sebuah perang lagi di Jawa, dimana salah satu diantara kita, entah pihak kita atau orang Jawa akan kalah, tentunya tidak akan ada lagi satu pun pemimpin mereka yang sudi bernegosiasi dengan kita. Saya yakin bahwa penyebab kampung Bonjol di Sumatera menolak untuk menyerah tidak lain disebabkan oleh apa yang diucapkan salah seorang pemimpin orang Bonjol (Tuanku Imam Bonjol): “Jika saya bersedia datang untuk berunding dengan Belanda, saya yakin akan diperlakukan seperti Diponegoro.” Namun, cukuplah tentang ini semua